Rabu, 17 Februari 2016

Serunya Pesta FLP JATIM

Setelah melalui perjalanan berjam-jam akhirnya sampai juga di Upgrading FLP Wilayah Jatim. Berangkat jam enam sampainya jam satu siang. Wheuw, tujuh jam. Daan akhirnya Malang!

Yeay! UMM
Berlima, delegasi dari FLP Bangkalan. Aku, Dek Ani, Windar, Ria sama Hambali. Kami bertemu di masjid kampus. Sebelumnya kami berangkat dari kota yang berbeda-beda.

Arrived in Rusunawa
Spanduk Penyambut
Sampailah sore itu ke Rusunawa UMM, tempat penginapan para peserta FLP. Kamarnya cukup lumayan. Sekamar isi tiga orang. Kebetulan aku sekamar sama si Windar, satu lagi dari FLP Lamongan.

Kamar Kita
Fasilitasnya oke lah. Sekamar ada tiga kasur. Lengkap dengan bantal dan selimutnya. Padahal awalnya aku mau kain Bali buat selimut. Eh, alhamdulillah ternyata. Biasa kemping dengan fasilitas seadanya yaa :D

Penampakan Kasur
Lemarinya juga ada tiga. Tersedia dengan hangernya. Siiplah buat gantung-gantung baju. Biar kamarnya tetep rapi. Setiap kasur ternyata ada laci besar. Sepertinya buat tempat pakaian kotor. Bagus untuk model kamar anak kuliahan ya.

Oia, karena ada hanger dan jemuran aku sempet nyuci di sana. Dan alhamdulillah kering dan bisa ganti lagi 'kaan bajunya. Ngirit tas biar nggak berat.

Meja di Sudut
Ada meja belajar juga. Tiga juga dong jumlahnya. Baguslah biar khusyu nanti belajarnya. Jadi mikir kalau ngekos di sini, sebulan berapa? Haha. Ternyata ini asrama buat para mahasiwa internasional. Tapi sepertinya sering buat penginapan. Soalnya temen-temen ekonomi pernah nginep di sini juga.

Kamar mandi? Adalah, di dalam. Sepertinya pernah ada showernya tapi sudah rusak. Tak apalah yang penting airnya lancar. Tiga hari di sana alhamdulillah berjalan sempurna.

Rehat beberapa menit, bersih-bersih diri dan antri*cuma gantian sebenarnya karena sekamar cuma berdua. Setengah lima kami dipanggil. Kumpul semua peserta di hall.

Terkait kunci awalnya agak kisruh. Terjadi konflik batin haiiyaa. Soalnya dua kunci pemberian panitia tak ada yang cocok. Namanya lagi jetlag, perjalanan panjang tentu ingin membaringkan badan barang sejenak. Lucunya kita sampai komat-kamit baca mantra. Ih, ternyata panitianya salah kasi.

Upgrading Begins!
First Meeting
Menit ke tiga puluh tiga melewati angka lima, ketika acara penyambutan akhirnya dimulai. Disambut Pak Rafif sebagai ketua FLP Wilayah Jatim dilanjut Mbak Wulan sebagai ketua pelaksana yang kemudian membacakan rekap donatur dari banyak orang.

Jam 05:51 P.M. baru deh kita mulai perkenalan. Pas perkenalan aku sambil tulis nama-namanya. Ada Halimatus Sa'diyah dari FLP Pasuruan, Hidayati Nur-FLP Tuban, Retno-FLP Surabaya, Fathul Bari-FLP Bondowoso, dan Abdul Azizi-FLP Kediri. Jam 18:01 perkenalannya ditutup dan ketemu lagi jam 18:21. Karena apa? Karena adzan Maghrib tlah berkumandang.

Selepas sholat, sesuai janji yang tadi agenda berjalan kembali. Perkenalan. Kali ini dimulai dari Mbak Utha-FLP Surabaya, Nurul Jannah dan Mbak Titik dari Pamekasan, Bu Atin dan Yulistia dari Tuban. Adek Shabrina yang masih kelas VII SMP dari FLP Pasuruan. Shaliha dan Ussy yang juga dari Pasuruan. Terus Ziela dari FLP Malang. Kemudian aku lupa menuliskannya lagi, tapi sebenarnya masih banyak yang belum dituliskan. Aku sudah keasyikan karena sudah tertarik dalam atmosfir Upgrading. Orang-orangnya ramah sih. Oia, kalau ada yang salah tulis maaf yaa. Sedengerku gitu, hujan deres juga waktu itu.

Aku salut banget sama Dek Shabrina. Kecil-kecil sudah melanglang buana di bumi nusantara. Hebat! Sukses jadi penulis ya, Dek!

Adzan Isya' berkumandang dan akhirnya perkenalan disudahi jam 07:37 P.M. Alhamdulilla semuanya kebagian yeay! Katanya disuruh kembali jam 08:20. Aku dan Windar sudah dijamak sholatnya. Jadi waktu kita habiskan dengan tilawah dan makan malam duluan.

Di acara Upgrading ini ada Danang Kawantoro juga. Ternyata beliau sekarang aktif di FLP Malang. Itu lho sang ilustrator Kawanimut. Ih, nyangka. Selama ini cuma lihat karyanya di Internet. Ilustrasinya suka dibikin foto profil sama orang-orang. Pertama kali tahu karya beliau pas 2010 dulu. Awal-awal niha'ie. Di stand panitia juga dipajang karya-karya beliau. Di meja pemateri juga suka dipajang.

FLP dalam Sejarah Nusantara
FLP dalam Sejarah Nusantara

Acara selanjutnya bertajuk FLP dalam Sejarah Nusantara. Dibawakan oleh Mbak Zie. Lengkapnya Fauziyah Rachmawati. Di sana kira dijelaskan angkatan para pujangga yang eksis di Indonesia. Seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan '45, Komtemporer '66 hingga berdirinya FLP di tahun 1997.

Menjadi seorang penulis menurut beliau adalah tentang komitmen menulis. Istiqamah juga penting. Meski sekarang suka ditolak media, terus berusaha. "Mungkin nggak sekarang tapi suatu hari nanti, pasti!" Deg, kata-kata itu langsumg aku tulis dalam catatan. Namanya juga penulis, semua peserta terlihat sibuk dengan pena dan bukunya. Sunyi, hanya tangan yang bergerak ke sana ke mari.

Ada game menarik dalam acara tersebut. Kita disuruh menuliskan harapan untuk FLP se-dunia, FLP Jatim dan FLP cabang. Setelahnya kita disuruh menulis 3 poin yang menunjukkan ciri-ciri. Katanya untuk tes apakah kita kenal semua peserta atau tidak. Eh, ternyata tebakan teman-teman benar semua. Yeay! Keren deh FLP Jatim.

Satu lagi, pesan Mbak Zie tentang pohon. Kita tahu kertas terbuat dari pohon. Jadi buatlah tulisan yang bermanfaat. Agar tidak sia-sia pohon ditebang. Jadikan bukumu berguna untuk seluruh umat manusia.

Meet KMGP Actor and Actress
Para Pemain KMGP

Kejutan di akhir acara! Para pemain KGMP datengin kita. Lengkap empat orang. Si Hamas yang jadi Mas Gagah, Noy-Dik manis Gita, Masaji-Yudi dan Izzah yang memerankan Mbak Nadia. Katanya ini pertama kalinya dateng ke Jatim dengan personel lengkap. Mereka didampingi oleh Ust. Abrar Rifa'ie, yang memang anggota FLP Jatim.  Ini kata pembukaan yang aku catat. Perkataan yang menggelegar di Rusunawa.

Sama Kita-kita
"KMGP itu anak kandung FLP. Memisahkan KMGP dari FLP seperti memisahkan tahlilan dari NU. Ibarat memisahkan Islam dari Al-Qur'an."

Sibuk fota-foti
Banyak pertanyaan dilontarkan kepada para pemain. Semuanya kebagian jawab di sesi itu. Yudi disuruh memperagakan adegan ceramah di bus sama Mbak Jen, peserta dari FLP Pamekasan. Keren! Noy alias Gita juga menimpali adegannya. Riuh deh malam itu. Meskipun hujan deras terus mengguyur di luar sana. Setelahnya, foto-foto dong. Ya ampuun.. Padahal mereka padat banget acara, sempet yaa ngunjungin kita. Terimakasih.

Training for Trainer
Tak berhenti di situ, setelah para pemain undur diri acara Upgrading terus berlanjut dong. Selanjutnya TFT. Teman-teman dikelompokkan berdasarkan minat. Aku masuk kelas cerpen, karena kelas puisi tak ada. Lebih tepatnya mungkin mentornya. Coba Abah Zawawi dateng yaa. Hush, nggak boleh berandai-andai!
Sebelumnya dibuka dulu sam Pak Nun Urnoto yang kemudian membuat anggota cerpen berkurang.

Pidatonya meledak-ledak. Teman-teman tergiur pindak ke kelas novel deh. Kelas yang memang dimentori oleh beliau. Okelah, setiap orang memiliki pilihan. Aku? Tetap di kelas cerpen di sana.

Di sana aku kumpul dengan Windar. Yeay! Kita sekelompok lagi. Kelas cerpen diampu Pak Rafif Amir. Di kelas ini kita fokus di cerpen Jawa Pos. Aku maunya sih di Kompas, pengen coba tapi tak ada yang mendukungku. Jawa Pos, semua sepakat.

Salah satu unsur yang kemudian membedakan cerpen dan novel adalah konflik. Cerpen biasanya hanya fokus pada satu saja. Nah, di kelas ini kita disuruh menggunakan 'imajinasi liar' untuk memperoleh cerpen yang ajib. Karena kita milihnya Jawa Pos, Pak Rafif memyarankan agar cerpen kita update. Seperti cerpen yang terbit di Jawa Pos esok harinya adalah tentang imlek.

Mengarang cerita pendek sejatinya adalah permainan imajinasi. Membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin. Seperti aliran surealis misalnya. Benda mati yang dapat berbicara. Begitulah tokohnya. Setelah banyak teori kita dapatkan, akhirnya pekerjaan rumah diberikan. Pe er cerpen yang kira-kira masuk kriteria Jawa Pos. Minimal empat sampai enam ribu kata. Wheuw!

Kami kembali ke kamar masing-masing dengan membangun harapan. Berkhayal akan cerpen yang harus dihidangkan. Zzzz... Eh, selain kelas cerpen dan novel ada kelas esai juga yang dimentori oleh Mbak Zie. Mentor yang banyak menulis di non-fiksi.

Semalam, hening pikiran. Tak ada inspirasi yang hinggap. Gejolak batin meliuk-liuk sengsara mencari tujuan. Hingga Shubuh, hingga olahraga pagi hingga kuliah umum sang inspirasi belum datang memberanikan diri.

Olah Tenaga dan Games Seru
Kegiatan yang menyehatkan di pagi hari. Olahraga? Yup, bener tapi dalam acara ini namanya olah tenaga. Ya, acara sehat kali ini kudu mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan. Karena kita dipandu oleh anak Capoera.

Mbak Wulan. Masi ingat? Ketua pelaksana acara Upgrading dan ketua FLP Malang juga. Ya, dulunya beliau aktif di Capoera. Mungkin sekarang masih. Nggak tahu deh belum tanya lagi.
Kita bener-bener jumpalitan. Merangkak ke sana. Salto, angkat tangan angkat kaki. You know Capoera gimana. Ada tuh beberapa anak yang telat. Disuruh push-up lah mereka. Iya, bener-bener push-up sepuluh kali. Makanya jangan terlambat.

Suatu ketika kita ketemu Mbak Wulan pas antri ambil air. Sambil ingat-ingat nama dan kembali berkenalan, beliau bilang "Tenang kok nggak bakalan disuruh push-up." Wajahku menyedihkan 'kali yaa.

Setelah uji kekuatan, panco 'kali kita main games. Permainan pertama lempar bola. Kertas yang digulung dan dilempar ke salah satu peserta. Sambil menyebutkan nama. Kadang nama yang dilempar, kadang yang melempar. Gantian dan semua peserta kena. Yang tak bisa menyebutkan kudu memanggil namanya dengan tujuh tangga nada. Untung saja aku tak kena :p

Kami terus bermain sembari menunggu sarapan. Permainan kedua  dipandu Bu Umi. Ekspertnya cerita anak dari Jombang. Mainnya pakai benda juga. Boleh bulat, lonjong atau apa saja. Nama gamenya "Jadi Apa". Permainan yang terus aku mainkan hingga di rumah.

Waktu itu kita pakenya mikrofon. Ada menyebutnya sebagai lipstik, sisir, tongsis. Segala aya. Itu benda diimajinasikan dengan segala rupa. Aku menganggapnya pensil dan barbel. Eh ternyata keduluan sebelum aku mendapat giliran. Jadi deh pas giliran aku menyebutnya bros. Eh?

Bermain sambil bernyanyi. Sambil pemain mikir, kita yang lain menyanyi. "Jadi apa, jadi apa. Jadi apa sekarang? Sekarang, jadi apa? Jadi apa sekarang?" Saat lagu berhenti pemain harus memperagakan sesuatu tentang mikrofon itu. Peserta lainnya harus menebak itu apa. Konyol-konyol deh waktu itu.

Kuliah Tamu Dare to be a Writerpreneur
Acara dimulai kembali setelah sarapan dan bersih-bersih diri. Sebelumnya aku sempat jalan-jalan dulu. Cari minimarket beli susu. Maklum tiap hari kudu begadang buat TFT. Tiga kotak amunisiku untuk tiga hari.
Dibuka oleh Mbak Nana. MC setiap acara, kuperhatikan begitu. Suka gayanya beliau memandu. Daebak.
Seperti biasa, Pak Rafif dan Mbak Wulan maju untuk beberapa patah kata. Semoga tak lelah berjuang ya.

"Semoga dengan menulis kita bisa menularkan berbagai inspirasi. Dan acara ini menjadi acara yang memikat. Agar menulis tidak hanta sebagai hobi namun juga profesi," begitu Mbak Wulan menutup pidato yang disambut tepukan yang meriah.

Kuliah yang pertama disampaikan Bunda Shinta Yudisia. Dimoderatori oleh Mbak Zie. Judul materi yang disampaikan adalah Journey to Amazing World.

"Barangkali darah seni sudah mengalir sejak kalian dilahirkan," demikian Bunda membuka acara mengutip perkataan Myuki.

Bunda Shinta banyak berkisah tentang pengalaman beliau. Perjalanan ke Gaza yang melahirkan Rinai. Jalan-jalan melahirkan novel dengan negara sakura. Aku lupa judulnya. Dan pengalaman waktu dulu awal-awal menulis.

Beliau bercerita dulu saat cerita pendeknya terbit di salah satu koran. Saat ditagih honor, tak ada jawaban. Sela beberapa waktu beliau dikontak orang Korea diundang acara kepenulisan.

"Barangkali rezeki saya bukan lokal tapi nasional. Bukan nasional tapi internasional. Allah tak akan melupakan do'a-do'a kita. Tak karya yang sia-sia." Nyess...

Hobi jadi profesi? Kenapa tidak? Apakah lantas ia akan jadi ria? Menafkahkan keluarga kan wajib. Menulis bisa jadi ladang pahala tuh selain untuk berdakwah.

Saat dipilih tiga penanya, Windar terpilih menjadi salah satunya. Dia dapat buku Bunda yang berjudul Sofia and Pink. Wah, selamat yaa.

Pak Dukut Imam Widodo memjadi pemateri kedua dengan moderator Malik Ibrahim dari FLP Surabaya. Kalau tak salah, beliau ketuanya. Pada kuliah ini para peserta mendapat materi yang berjudul Menulis itu adalah Sebuah Pekerjaan.

Beliau adalah penulis Surabaya Tempo Doeloe dan serial lainnya; Malang, Ngawi dll. Prinsip beliau adalah, "Jangan pernah mengeluarkan sepeser uangmu untuk buku!" Nah untuk ini penting untuk negosiasi. Mencari sponsor, mencari pihak yang mau mendanai.

Pak Dukut dan Peserta
Beliau biasa mendatangi para pejabat dan memberikan kartu nama. Bukan Pak Dukut yang minta tapi para pejabat itu. Ada beberapa yang siap mendanai asal biografi sang tokoh dimuat dalam buku. Jika kedua belah pihak diuntungkan maka negosiasi dilanjutkan. Jika tidak, ya sudah. Jadi memang tak selamanya win-win kadang pernah juga win-lose.

Tiga pesan yang harus diingat lekat-lekat. Pertama, penulis itu harus berani tampil. Berani berdialog dengan masyarakat. Jadikan mereka sebagai penggemar. Tampillah di depan publik yang siap mengkritik anda habis-habisan. Kedua, penulis harus pandai bergaul dan banyak koneksi. Terakhir, penulis harus sehat jasmani dan tertata hidupnya.

"Saya ndak pernah ndugem, ndak pernah mabuk, ndak pernag myimeng. Saya ini orang rumahan," aku beliau.

Menulis adalah bekerja dan penulis harus disiplin soal waktu. Pak Dukut menulis tiap jam tiga pagi usai shalat Tahajjud. Membunuh waktu dengan menulis buku. Menanti adzan Shubuh berkumandang.

"Sudah banyak pesaing. Kita harus berjuang. Bekerja lebih keras."

Moderator berpesan sebelum menutup acara. Menghimbau para peserta untuk  berani membaca di tempat umum. Membuat image yang baik pada masyarakat.

Potong Tumpeng FLP Jatim-Pusat
Sebelum rehat, teman-teman FLP Jatim potong tumpeng. Milad FLP yang ke-19. Kita makan-makan duluan. Mumpung lagi ada Bunda Shinta belum pulang.

Lanjut TFT
Setiap ada rehat, kamar kami sunyi. Tak-tik-tuk menuangkan ide. Tenggelam dalam pikuran masing. Kalau sudah buntu yang ditanya, "sudah dapat berapa kata?"

Rehat Maghrib dan Isya kala itu senyap. Setiap pintu kamar tertutup rapat. Selain kelas cerpen rupanya kelas esai dan novel juga mendapat tugas yang sama. Beda kalau yang novel membuat sinopsisnya saja.

Mendekati jam delapan, semua kembali berkumpul di hall. Acara serupa kemarin malam. Kami membentuk kelompok-kelompok sesuai minat. Yang paling telat ya kelas cerpen tak ada yang rampung tulisannya. Tulisanku sebenarnya rampung cuma empat ratus kata sedangkan minta beribu-ribu.

Kami diberi waktu satu jam untuk menyelesaikan kembali. Aku? Punyaku sudah selesai hanya kurang syarat saja. Alhasil aku hanya menambal sana-sini. Setelah satu jam semua karya dikumpulkan.

Punyaku dan Windar dikumpulkan lewat bluetooth karena ngetiknya lewat hape. Yang lain ada yang pakai flashdisk, tulisan tangan dan ada yang diunggah di catatan fesbuk dan tag Pak Rafif. Setelah semua terkumpul Pak Rafif membacakan sebuah cerpen berjudul Kalung.

Ketika cerita dibacakan aku bagai de javu. Seperti kenal dengan tokoh Matilda yang dikisahkan. Ternyata cerita itu pernah dibahas di kelas Prose-nya Ms.Erika. Yang kudengar di TFT adalah karya terjemahan. Aslinya The Neclace by Guy de Maupassant.

Pembacaan cerpen selesai, giliran karya kami dibaca. Sayangnya punyaku dan Windar dilupakan dan aku malas berdebat tentang hal itu. Windar juga sama. Hiks.

Cerpen Terbaik
Karya anak FLP Sumenep terpilih menjadi the greatest story. Namanya siapa ya lupa. Rizki kalau nggak salah. Ada tiga nominator lainnya. Baim dari Surabaya, Dek Shabrina. Kayaknya ada satu lagi. Lupa..
Aku dan Windar pulang dengan hati nano-nano.

Change Your Words Change Your Worlds
Pagi berikutnya hanya sedikit yang mengikuti olah tenaga. Padahal pagi itu ada yang seru. Senam pinguin! :D
Yah, karena lebih seru yang kemaren lanjut aja yah ke acara selanjutnya. Writing Motivation oleh Pak Bactiar H.S. Dulunya Pak Bachtiar pernah menjabat sebagai ketua wilayah Jatim. Kini beliau menjadi bagian dari FLP pusat. Acara ini temanya Dakwah bil qalam. Dimoderatori oleh Mbak Agustha Ningrum alias Mbak Utha.

Pak Bachtiar membuka acara denga video Ibnu Batuthah. Ibnu Batuthah menjelajah dunia selama tiga puluh tahun. Beliau menjelaskan secara rinci perjalan awal hingga akhir travelling ala Ibnu Batuthah.

Nama asli Ibnu Batuthah adalah Abdullah bin Muhammad. Beliau menjelajah dunia dimulai di usia 21 tahun. Perjalanan beliau tiga kali lebih jauh daripada Marcopolo maupun Colombus. Kisah perjalanan beliau ditulis dalam buku oleh Ibnu Jauziy.

Ibnu Batuthah menuturkan kepada beliau selam dua tahun. Bayangkan jika Ibnu Jauziy tidak menulis kisahnya, mungkin kita takkan mendapat bukti sejarah amazing tersebut. Abu Hurairah, Imam Bukhari, Ibnu Katsir; jika para ulama ini tidak menulis takkan kita jumpai karya fenomenal itu. Maka jangan lupa menuliskan sejarahmu.

Penulis itu jangan lupa membangun koneksi. Kalau kata pendiri Apple, connets the dots maka orang hebat itu hanya enam langkah dari kita. Kita mungkin tak pernah bertemu J.K Rowling, bisa jadi di samping kita adalah ajudannya. Allah takkan menyia-nyiakan setiap pertemuan. Semua pasti diatur olehnya. Bukankah setiap daun yang jatuh tertulis nasibnya?

Jika bayangan sepanjang badan maka tulisan adalah sepanjang bahan.  Teruslah menulis sampai bahan itu habis. Jangan berhenti sampai ia benar-benar kosong. Saat bahan melompong maka carilah. Bacalah seribu buku maka tulisanmu akan mengalir seperti sungai.

Launching Antoligi Bersama dan Penganugerahan

Sambutan Pak Rafif di Hall Rusunawa
Pak Rafif muncul ke hadapan lagi, "Semoga tak bosan melihat saya terus." Buka acara ini dan itu. Beliau maju dalam rangka launching buku karya teman-teman FLP Jatim. Angologi kisah suka dan duka selam bersama FLP. Kisah inspiratif yang ditulis bersama. Dari 30 naskah yang masuk hanya dipilih 24 saja.

Aku sudah pesimis. Pasalnya teman-teman FLP kan jago-jago. Aku tak yakin lolos. Eh, detik-detik terakhir namaku dipanggil juga. Alhamdulillah. Aku sampai dipanggil dua kali untuk maju ke depan.

Sayang aku kehabisan. Buku antologinya ludes sebelum 24 jam setelah launching. Yah... Tak jadi bawa oleh-oleh buku. Tapi tak apa, cetakan kedua sedang dibuat dengan tampilan baru tentunya. Syukuri saja ;)

Pak Rafif berlalu, Mbak Nana muncul kembali. Kali ini dalam rangka membacakan nama-nama peserta Upgrading terbaik. Dimulai dari teman-teman peserta yang berpartisipasi dalam acara. Menjadi moderator; Malik Ibrahim dan Agustha Ningrum atau membaca tilawah (lupa namanya). Terus yang paling aktif; Mbak Jen dan Fahri.

Peserta FLP Jatim
Ada juga kategori peserta termuda dan tertua; Dek Shabrina dan Bu Atin. Terakhir, FLP yang registrasi pertama kali. Nama Surabaya disebut. Karena masih ada hadiahnya, peserta yang belum mendapatkan hadiah sama sekali diminta maju dan menceritakan tujuan datang ke Upgrading. Mbak Vita dari Lumajang terpilih. Pokonya Upgrading ini bertabur hadiah. Setiap sesi ada aja hadiah.


Dengan dibagikannya semua hadiah berakhir sudah acara Upgrading. Mewek deh. Hall Rusunawa penuh dengan blitz. Kamera diangkat tinggi-tinggi. Tongsis apalagi. Tripod pun jadi tongsis. Biar semua peserta kebagian.

Bye! Jumpa lagiiii. Kapan yaa. Pada mau ikutan Milad FLP di Jogja? Yuk biar kita pada ketemuu..

Milad FLP di Jogja













Selasa, 16 Februari 2016

Backpacking to Malang!


Backpackering alone is blessing when it is rain
Bus mini yang aku tumpangi melaju ugal-ugalan. Tak banyak penumpang yang ikut serta. Maklum bulan ini mahasiswa UTM sedang berlibur. Bus jurusan Pamekasan-Bangkalan pun lengang.

Masih dengan gayanya yang 'kurang sopan' bus sesekali berhenti,  mengangkut penumpang. Seperti yang terlihat di luar begitulah di dalam. Hal paling tidak aku sukai adalah perokok. Apalagi di dalam kendaraan umum. Benar-benar membuatku tidak betah. Seorang bapak paruh baya tepat di belakangku dan kakek-kakek berkopyah. Mereka dengan cueknya mengisap cerutu. Tak peduli aku batuk-batuk menggerutu. Hmm, padahal si bapak juga membawa anak. Semoga para perokok di muka bumi lekas insaf.

Smoking will  kill you someday.

Penumpang yang sepi membuat bus harus berganti di Sampang. Fasilitas yang dimilikinya lumayan. Tempat duduk yang lebih empuk dan layar TV di setiap setnya. Ada AC jika ingin kau hidupkan. Aku kemudian terlelap entah beberapa lama. Kali ini sempurna, namun kemudian..

Kami para harus berganti angkot lagi. Untuk yang ketiga. Alhamdulillah.

Menuju jam empat sore, akhirnya aku sampai di Telang. Dijemput seorang teman dengan mengendarai motor. Telang, tempat transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang.

Di Telang, aku menginap di kos. Hanya ada beberapa kawan yang tersisa. Ada yang sedang menggarap skripsi, merampungkan KKN dan tugas organisasi. Sisanya sedang berlibur di desa.

Telang sepi. Para penghuninya sedang melancong ke luar negeri. Eh, pulang kampung maksudnya. Sebagian warga Telang adalah mahasiswa-mahasiswi UTM. Universitas Trunojoyo Madura. Toko-toko yang biasanya ramai pun senyap. Jadilah untuk makan malam kami mencarinya di daerah Kamal. Sekitar 15 menit pakai motor.

Menu malam itu, bakso, lalapan dan bubur kacang hijau serta sekotak susu. Eits, itu menu kami berempat. Bukan hanya aku saja. Aku memesan bakso tenis yang ukurannya besar. Seporsi dapat dikantongi dengan Rp 10.000 Lumayan, perutku kenyang juga meski tanpa nasi.

Kawan-kawan menanyakan perihal perjalanan esok ke Malang. Kuterangkan bahwa aku akan berangkat sendirian. Layaknya seorang backpacker. Haha, gayanya. Padahal sebelumnya belum pernah ke luar Madura sendirian.

"Bareng ikhwan-nya saja lho, Dek. Biar ada temannya," itu usulan dari Mbak kos. Hmm, aku tidak yakin akan hal itu. Hei, kita bukan mahram >_<

Perjalanan kali ini memang dalam rangka acara Uprgrading FLP JATIM. Dan aku mewakili FLP Bangkalan. Ada lima orang sebenarnya, tapi mereka berangkat dari kota yang berbeda. Ada yang dari Jombang, Lamongan dan Sidoarjo. Aku sendiri berangkat dari Pamekasan. Satu lagi dari Bangkalan. Bisa bareng sebenarnya, tapi dia ikhwan. Masa iya?

Esok paginya sebelum tepat pukul enam aku sudang hengkang dari Telang. Diantar seorang kawan menuju Pelabuhan Kamal. Tiket naik kapal dikenai lima ribu rupiah. Deg-degan saat melangkah ke atas kapal. Ya Allah mudahkan, doaku berkali-kali.

Sebelumnya, aku sudah ditelpon teman. Diberitahu ancer-ancernya. "Nanti dari Perak naik bus ke Bungur, mungkin satu jam-an. Lanjut naik bus jurusan Malang terus turun di Arjosari". Malamnya pun aku sudah memisahkan uang-uang kecil. Sesuai tarif angkot yang diinstruksikan rekan-rekan.

Bismillahi majreha wa mursaha.

Tiket Kamal
Delapan belas menit melewati angka enam, kapal mulai berangkat. Bergerak meninggalkan pulau garam. Petualanganku dimulai. Yah, meskipun agak risau.

Aroma kopi menyeruak di antara lainnya. Banyak penjaja kopi menawarkan dagangannya. Aroma pagi. Tak lama asap rokok membumbung tinggi dari segala penjuru. Ugh, lagi!

Jembatan Suramadu terlihat dari jauh. Penuh kabut. Abu-abu. Matahari belum meninggi. Awan kelabu mencegatnya pagi ini. Namun beberapa menit kemudian wibawanya memantul di atas perairan. Rona emas yang menyingga.

Iseng. Mataku memeriksa sudut-sudut penyulut asap. Di arah jam dua, lelaki berbaju ABRI tampak pertama dalam pandanganku. Kemudian bapak dengan jaket motor dealer di seberang bangku. Lalu kakek dengan batu akik besar berwarna coklat mengkilap. Dan orang-orang lainnya yang tampak buram. Tak terjangkau indera penglihat.

Di depan sana pria berkacamata menikmati korannya. Itu lebih baik daripada menebar racun ke udara. Menambah pengetahuan sebagai sarapan. Sarapan? Ah, nasib. Perutku sedang kosong. Tadi pagi hanya beberapa butir kismis yang berhasil masuk. Hmm..

Kapal mendekati Surabaya. Dua menit lagi aku akan turun. Cahaya mentari telah menerpa wajahku. Gedung khas perkotaan dan pabrik-pabrik dengan kepulan asap tampak kian dekat. Bismillah..

Aku menuruni tangga. Siap menyentuh pulau jawa. Gerimis menyambutku. Ah, semoga perjalanan semakin berkah.

Aku menangkap sosok gadis dengan jaket baseball hijau. Jaket KKN semester ini. Kucoba menyapanya, siapa tahu jadi teman seperjalanan. Jadi nggak halan-halan sendirian nanti. Asyiik.

Kami mengobrol banyak hal. Dan ternyata dia satu kelompok KKN with my roomate. Wah, kebetulan bukan. Allah memang tak salah mempertemukan kami. Sayangnya kami harus berpisah. Dia langsung naik angkot ke Wilangun bukan bus menuju Bungur. Dan aku lupa menanyakan namanya. Dia hanya bilang asal Gresik.

Beberapa saat pikiranku terdiam meski langkahku terus melangkah cepat. Aku harus naik apa?

"Ayo, Bungur, Bungur!" suara kondektur membuat lajuku semakin cepat. Hap! Aku naik ke dalam bus Semoga nggak kesasar.

Pukul 06:47 A.M saat bus melaju meninggalkan Perak. Enam ribu kubayar. Selanjutnya aku mengambil hape. Ingin memberikan kabar pada teman karena kita janjian bertemu di daerah Arteri, Porong. Lebih tepatnya dia akan mencegat bus yang aku tumpangi dan melaju bersama nantinya.

Aku panik Indosat loadingnya lama. Alamat tak dapat buka Facebook.  Telfon Abi dengan AS, pulsa tidak mencukupi katanya. Padahal waktu di kapal dua kartu itu masih bisa. Wong gratisan ke sesama. Whoaa. Ada alien  sms lagi, ukh berangkat dari Madura jam berapa?

Kyaaa, pesannya baru nongol. Ini sudah Jawa. Apa? Jawa? Mungkin karena di jawa semua kartuku tak berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal sebelumnya baik-baik saja. Ya, ini 'kan AS Madura. Yang Indosat mungkin juga sama.

Alhamdulillah ada pulsa masuk. Hurray! Aku ingat sebelumnya di atas kapal, aku 'menggosipkan' pulsa dengan Abi via telepon. Wah, Abi pengertian. Thank you, Dad :*

Sekali mengaktikan paketan data langsung ada seribu pesan WA. Ada tiga orang baru dan chat dari berbagai grup. Membalasnya satu-satu, lumayan juga.

Selanjutnya mari nikmati pemandangan kota dengan bangunan-bangunan tempo doeloe. Aku catat-catat lekat, memotretnya dalam ingatan. Yuhuu. Enjoy the journey.
Cekrek! Ups, lupa disilent :D

7:56 A.M aku sampai Bungur. Melangkah cepat-cepat mengikuti arus. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Duduk di ruang tunggu. Mengeluarkan botol air dan mengunyah beberapa buah kismis. Lapar.

"Mbak, nggak usah nunggu orang itu.   Mbak langsung naik bus ke Malang saja. Naik yang ekonomi bukan patas," sebuah pesan masuk. Dari teman yang mengajakku janjian di Arteri Porong.

Tak kutemukan yang ia maksud. Bus patas dengan jurusan Malang yang paling mencolok pandangan. Aku mulai gelisah. Berkali-kali kusisir papan nama. Berharap menemukan yang ia maksud. Tak ada. Akhirnya aku menyerah. Pasrah.

Sebuah papan pentunjuk di depan bangku membuat mataku berbinar lagi. Bukan tulisan dengan jurusan Malang, namun musholla. Kugendong lagi tasku. Menyusuri deretan tempat duduk, mencari musholla.

Orang-orang heran menatapku. Orang udik dari mana ini, mungkin begitu pikirnya. Musholla tak jua kutemukan hingga ujung. Aku kembali ke tempat semula. Duduk.

Yang kulakukan kemudian membaca tarif-tarif berbagai jurusan di ruang tunggu. Angkanya berubah-rubah sesuai kota. Seperti tercerahkan aku bangkit dari duduk dan keluar dari ruang tunggu. Menuju bus jurusan Malang.

Kudekati, dan masih ada tulisan patasnya. Argh.. aku linglung ke sana ke mari. Jadi naik atau nggak yaa tapi jangan yang patas katanya.

Di tengah perasaan bingung yang terus melanda sebuah panggilan masuk lewat WA.

"Mbak sudah ketemu busnya?" Aku menggeleng. Eh dia kan tak melihat yaa \^0^/

"Coba tanya orang-orang di sekitar situ. Sambil terus jalan ke arah pojok. Sebelah kanan dari pintu keluar," katanya sambil memberikan instruksi. Soal sebelah kanan aku agak bingung awalnya. Pokoknya riweuh deh. Mumet pikiranku waktu itu >_<

"Pak, jurusan bus ekonomi Malang sebelah mana?" tanyaku takut-takut, tapi ternyata bapaknya ramah banget. Beliau menunjukkan dengan sabar, atau kasian yaaa :p

Akhirnya ketemu juga dan aku adalah penumpang pertama. Yeay! Dua puluh enam melewati angka delapan ketika menghempaskan diri dengan nyaman di kursi penumpang. Iyalah masa' supir. Hampir setengah jam gue cari bus ini.

"Nanti turunnya di Arjosari," instruksi temanku lagi lewat WA. Siap komandan! 

"Permisi," suara seseorang terdengar saat aku sedang asyik saling berbalas pesan. Di dalam bus umum begini biasa ada pengamen atau pedagang asongan menjajakan dagangannya. Jadi jangan heran yaa. Nasehatin siapa, Bu? :p

"Permisi," kali ini suara sedikit agak dikeraskan. Rupanya ada lelaki memanggilku dari kursi belakang. Hii, tak kirainn.

"Ini busnya nanti terakhir turun di mana?" tanyanya.

"Terminal Arjosari," jawabku mengutip pesan teman. Benar 'kan?

"Oo, bayarnya berapa ya?" dia melanjutkan pertanyaannya yang kedua.

"Tiga belas ribu lima ratus," di ruang tertera begitu. Untung tadi lihat tarifnya di ruang tunggu. Jadi bermanfaat 'kaan..

Ia pun kembali ke tempat duduknya, terlibat dengan seseorang dalam panggilan telepon. Dari yang kudengar, ini perjalanan pertamanya ke Malang. Mau travelling gitu jare. Nggak tau dia gue juga baru ke Malang sendirian. Haha.

Selanjutnya aku tak mendengar lagi. Sudah khusyuk menikmati pemandangan sekitar. Apa yaa, pemandangan perkotaan. Gedung dan pertokoan Surabaya.
Tak lama kemudian kondektur mendatangiku, menagih pembayaran. Kena empat belas ribu ternyata. Ya, nambah. Beda lima ratus. Tak apalah lagian sedang tak punya recehan juga. Hitung-hitung memperbaiki perekonomian Indonesia. Tsaah.

Bus kemudian memasuki tol. Aku tak melihat apa namanya. Lebih tepatnya aku sudah mencari ini tol apa, tapi tak kutemukan papan namanya. Soalnya temanku meminta dikirimi pesan  jika sudah masuk Tol Waru.
Urusan saling kirim pesan ini agak riweuh karena bus sudah berkali-kali berganti tol. Hingga akhirnya aku memotret dan mengirimkan gambar jalan sekitar tol. You know, jalan sekitar tol 'kan gitu-gitu aja, tapi aku berharap ia kenal daerahnya.

Temanku sudah ngebut dari rumah katanya. Ia bertanya nama bus yang aku tumpangi. Kukatakan, MBOYS.
Taken from the bus I ride in Surabaya
Mata terlempar ke luar jendela. Gunung besar bertakhta di sana. Nah, perjalanan panjang seperti ini sangat menguntungkan jika berada di situ. Pemandangan di luar jendela menjadi hiburan yang mumpuni bagi pejalan. Gunung tinggi menjulang terus menjadi pemandangan utama. Semua penumpang seperti tersedot pesonanya. Belok kanan, belok kiri mata tetap membesar terarah ke sana. Subnallah, berdecik kagum kami pada-Nya.

"Arteri, arteri!" kenek di bagian depan membunyikan besi sebagai peringatan. Aku bersiap menunggu. Tempat duduk di sampingku sudah kurapikan. Ransel yang semula berada di sampingku berpindah ke atas pangkuan.

Harap-harap cemas. Berharap temanku segera naik. Meski begitu tak seorang pun terlihat naik.

"Mbak, udah lewat apa belum?"
"Ini sudah halte Gempol"
"Waduh.."

Akhirnya kita tak jadi sebus bareng. Ia naik bus yang berbeda. Jadilah aku benar-benar backpackering alone. Whoaa, bismillah aja. Allah pasti tahu yang terbaik.

Seorang wanita berkerudung merah naik. Kugeser lagi ransel yang tersedia buat teman. Si ahmar pun tersenyum dan duduk di sampingku. Mungkin aku harus  bertemu banyak teman baru.

Aku kemudian mencoba untuk memberanikan diri berkenalan dengan si ahmar. Namun saat kumenoleh ia sedang tidur dengan pulas. Eh? Secepat itu... Ya sudahlah, mungkin dia sedang capek. Pilihan selanjutnya tentu saja menikmati perjalanan.
Mau makan?
Memandang jejeran warung di jalanan. Aneka jajanan di luar jendelaaa. Hmm, makanan-makanan itu membuat rasa lapar. Mulai emang-emang yang menjajakan bakpao sampai warung di pinggir jalan dengan spanduk besar. Dan sepertinya ada warung plus-plus. Wanita dengan dress seksi warna merah dengan bibir dan dandanan menor menyala. Ggrrr, naudzubillah.

Pikiranku kembali pada makanan lagi. Ditambah ada kuliner yang menurutku 'menggelikan'. Ada tuh aneka kikil. Baso kikil, soto kikil sama lontong kikil. Kyaa, aromanya membikin perut tambah lapar. In fact, aku tak terlalu menyukai kuliner yang satu itu.

Oia, buku yang kubawa dalam perjalanan adalah Pesantren Impian. Novel karya Asma Nadia ini bercerita tentang lima belas pemuda dan pemudi diundang masuk pesantren. Latar belakang para santri berbeda-beda. Ada yang pembunuh, pecandu dan aneka kejahatan kriminal lainnya. Misterius, begitulah kalau bisa dibilang. Mencekam ceritanya.

Kembali kulempar pandang ke luar jendela. Pemandang sekitar amat sayang jika dilewatkan. Spanduk-spanduk destinasi menggugah untuk didatangi. Puncak Nirwana? Boleh juga tapi di mana? Ah, mereka menggoda.

Sampai di Sengon, tepatnya dekat masjid sekitar Purwosari, macet. Di grup WA memang sempat ramai membicarakan hal ini. Tadi temanku juga wanti-wanti. Ah, trapped juga gue.

Bus kemudian mengambil jalan pintas. Berbelok melewati persawahan hijau. Masyarakat sekitar tampak aneh. Mereka kebingungan, kok ada bus besar lewat sini? Haha, gitu kali ya mikirnya. Pemandangannya cukup oke dan satu lagi, mulai berkabut.

Memasuki Purwodadi aku mengantuk. Tidurlah. Bukankah itu obat mujarabnya. Seperti tertidur beberapa menit saja. Aku terbangun saat kondektur mengumumkan daerah Lawang. Hampir sampai, aku bersiap.

Tapi ternyata agak lama juga. Mataku terpaku sejenak pada toko bertuliskan Oleh-oleh Khas Bali. Eeeeeh? Oleh-oleh Bali ada di Malang? Biasa aja dong, oleh-oleh dari Mekkah juga ada tokonya di Pamekasan.
"Arjosari, Arjosari!" Seperti biasa pengumuman dari pak kondektur. 

"Pak, Pak!" niatku memberitahu bahwa aku turun di situ. Sedetik kemudian sinaps dalam otakku bekerja. Kalo ini Arjosari mana terminalnya?
 
Ternyata belum benar-benar sampai. Tadi itu hanya pengumuman biasa. Agar para penumpang siap sedia. Ohh..

Haha, jadi deh salah tingkah.

Terminalnya berbeda dengan di Bungur. Ruang tunggunya lebih tradisional. Aku agak bingung awalnya mencari ruang tunggu sampai muter-muter. Alhamdulillah, setelah berhenti minum dan mengatur nafas, temanku menelepon.

Whoaa, akhirnya ada temen bareng.  Setelah cipika-cipiki kami memutuskan mencari masjid untuk sholat dulu. Ada sih tulisan musholla tapi kami tak menemukan wujudnya. Lalu kami pun menyeberang meninggalkan terminal. Memutuskan melanjutkan pencarian. Masjid mana yaa.

Tak jadi ke masjid karena ia tak ditemukan. Dari Arjosari kami naik angkot dengan kode ADL ke UMM. Yuhuu, perjalanan kita belum usai! Jalan-jalan khas mahasiswa mulai tampak. Kafe dengan tulisan, Harga Mahasiswa Rasa Luarbiasa membuatku ingat kampus tercinta. Di sinu juga ada ya semboyan begitu. Pakaian ala kampus juga bertebaran. Angkot melewati kampus Brawijaya dan UIN. Aku sempat memotretnya cekrek-cekrek.

Di dalam angkot kami ngobrol ngalor-ngidul. Tentang buku incaran, berita update kosan dan banyaaak banget. Maklum ini 'kan perjalanan di waktu libur kampus. Jadi serasa bertahunan tak bertemu.

Angkot berhenti di Landungsari. Menurut penuturan pak angkot kami kudu jalan sedikit lagi. Okelah tak apa. Kami bayar enam ribu, karena menurut kami perjalanan yang ditempuh tadi jauh sekali. Eh ternyata bayarnya cukup lima rebu aja.

12:56 P.M kami memasuki areal UMM. Ahh, rasanya perjalanan panjang terbayarkan. Besar dan mewah. Buka mepet sawah lho. 

Tujuan pertama kami, masjid! Yoo, let's go! Akhirnya aku tak sendirian lagi. Di sana aku bertemu dua rekan lainnya. Selesai sholat kami menunggu rekan seorang lagi. Sambil menunggu kami fota-foti dulu. Eaa..
Saat adzan Ashar berkumandang pun yang ditunggu tak jua muncul ke hadapan. Kami memutuskan untuk kembali ke masjid untuk sholat. Aku sendiri sudah menjamak sholat, jadi menunggu mereka bisa tuh dibuat baca-baca dulu. Your spare time jadi keguna 'kaan. Selepas sholat si do'i tak terlihat juga. Daripada nganggur kita lanjut cari makan deh. Pas selesai makan baru tuh kita ngumpul berlima.

Acara Ugrading FLP ini memakan waktu tiga hari. Ada apa di sana? Intip saja postingan selanjutnya. Stay tuned yaa.

FYI, pulangnya dari UMM kita berdelapan. Bareng anak FLP Pamekasan. Kan searah tuh. Sama-sama Madura. Tapi sampai Lawang kita berpisah soalnya aku beli oleh-oleh dulu. Mereka awalnya mau ke sana juga tapi tak jadi.

"Di rumah nggak ada yang mau dioleh-olehin. Nggak mungkin ada yang makan."

Oh, gitu. Di rumahku ada empat orang yang nungguin. Dua adik kecil sudah woro-woro di telepon. Jadi nggak mungkin aku PHPin. 

Dari Lawang aku menginap di Sidoarjo karena takut kemaleman. Sama itu lho temanku yang Arteri-arteri. Ini ceritanya aku menginap di sana.

Pulang ke Madura esoknya jam delapan pagi. Diantar teman dari rumahnya ke jalan besar. Jam 08:46 A.M akhirnya aku mendapat bus dari Porong ke Bungur. Backpackering alone lagi deh. Bismillah ajah! Dadah, Sidoarjo, dadah teman..

Banjir Terminal
Di Bungur ternyata banjir. Tingginya semata kaki orang dewasa. Turun dari bus aku lompat-lompat menghindari air. Sampai di terminal aku ternyata masih kebingungan. Bukannya masuk bus antar kota tapi bus kota. Untung saja ada bapak-bapak pembaca koran baik hati yang menunjukkan ke jalan yang benar.
Hop! Akhirnya kutemukan juga bus jurusan Madura. Maduraaa, I'm coming. Haha, rindunyaa.

Kali ini aku tak terlalu memperhatikan jalan lagi. The most thing I want is nyampe Madura secepatnya. Aku mulai lelah. Yang kucatat jam 10:55 A.M sudah enter the bridge

Dari terminal dekat STAIN Pamekasan aku meneruskan perjalanan  dengan menaiki bus mini menuju Ghadin. Dari Ghadin aku berjalan menuju Bakso Cak Yono. Di sana aku menunggu jemputan dan jam 14:23 aku tepar. Okeh, kapan -kapan kita halan-halan lagi.
Jalanan Pamekasan



Selasa, 09 Februari 2016

Kelamnya Mindi yang Tengelam



Semuanya terjadi begitu cepat. Aku keluar dari terminal dan kehujanan. Berjalan cepat-cepat sembari merapatkan jaket. Pada langkah keseratus aku berhenti. Kepulan asap bakso dan perut yang belum diisi adalah padanan yang serasi.

Tepat malam sebelumnya dengan kejadian yang sama. Hujan turun di perempatan kota. Malam itu segala kengiluan bertumpuk. Bus terakhir dengan penumpang penuh sesak membuat kami berdiri. Bergelantungan atau bersandar pada kursi. Begitu seterusnya hingga  tiga jam terlampaui.

Jam berikutnya jemputan datang dan hati kami bersorak riang. Jadilah kami naik berboncengan. Motor melaju terus menerobos hujan. Malam yang indah ketika semua bermula. Suatu desa yang indah di daerah Porong, Sidoarjo.
Sesampainya di rumah teh hangat menyambut dari senyum tulus seorang ibu. Partner-ku yang satu itu tak mau. Nggak doyan 'kali ya. Emang teh kudu doyan? Oke lupakan. Segelas besar teh hangat habis dalam beberapa hitungan. Memang sedang diperlukan untuk menghalau rasa dingin.

Nasi putih yang mengepul terus memanggil-manggil ketika aku hilir mudik melewati meja makan. Teman-temannya kompak bersuitan. Menggoda perut yang kelaparan seharian. Segerombolan sayuran yang terdiri dari daun singkong, tempe, pete, malandingan--orang Pamekasan menyebutnya begitu--dan entahlah aku lupa wajah-wajah teman-teman lainnya. Yang jelas mereka gank yang bernama Botok. Tahu dan telur mata sapi dengan bumbu merah--mungkin balado--turut ikut serta. Tak lupa kerupuk kotak-kotak yang juga meriuhkan suasana. Kotak-kotak? Masaji dong :.grin.: Kriuk, kriuk..
Hidangan yang nikmat, bukan? 

Alhamdulillah. Rejeki anak sholehah. Kemudian sebelum  makan, bersih-bersih diri, lanjut ke alam mimpi. Setelah sebelumnya pergi menggosok gigi.

Esoknya saat pagi menyapa kami berkendara ke luar desa. Bertaffakur, memuji berbagai keindahan yang diciptakan Allah. Melewati Kali Mati dan Makam Kembar kami menemui kebun tebu yang berhektar-hektar.
Selain smartphone untuk fota-foti, aku membawa ikut sertakan sebuah buku. Indonesia Mengajar. Selain buat baca di waktu senggang, seperti di taman atau nunggui tukang roti bisa 'kan dibuat properti.

"Di sini jalannya bagus. Mulus tak berlubang-lubang," pujiku tulus. "Kalau mau lihat kepala desanya korupsi atau tidak lihatlah kondisi jalannya," lanjutku lagi mengutip sebuah perkataan.

"Memang di rumah sampean bolong-bolong jalannya?" pertanyaan yang aku jawab dengan anggukan. Lha wong tiap hari ada truk lewat. Jalanan desa digituin, amblaslah dia.

Tepat setelah kendaraan bertegur sapa dengan tugu perbatasan kami memutuskan untuk rehat sejenak. Gunung berbaris di kejauhan. Berkumpul mengadakan halaqah pagi. Terus berdzikir memuji ilahi.

"Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi." (Shad: 18)

Usai beberapa menit berdiam di sana kami bergerak kembali. Bergerak menuju daerah kecamatan. Melewati perkebunan. Berbagai macam sayuran juga terlihat ditanam di persawahan. Tentang lapas, membuat kami berimajinasi sebuah cerita dengan setting penjara. Bukan aku tepatnya yang terinspirasi pertama kali. Ide-ide konyol berlompatan di kepala kami. Dasar penulis.

Perlahan awan menyibak. Mempersilahkan mentari menunjukkan diri. Cahaya emasnya menyejukkan hati. Cantik dan anggun. Kupotret, cekrek-cekrek!

"Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat." (Fatir: 17)

Empat puluh lima menit melewati angka lima saat kami terus melaju menuju Kota Mati. Dulu Porong begitu hidup. Kini pertokoan di pinggir jalan sudah tutup. Tiba-tiba suasana menjadi abu-abu. Matahari undur sepertinya undur diri. Di atas sana awan kelabu menggantung di langit. Hawanya mengharu biru.

Awalnya aku tak mengerti tapi perjalanan terus berlanjut. Kendaraan kami memasuki desa Mindi. Tak terlalu sepi. Satu-dua orang terlihat melakukan rutinitas harian. Namun maju 50 meter. Kesunyian mulai tercipta.

"Ini yang namanya Kota Mati?" Sang supir mengiyakan pertanyaan penumpangnya. Rumah-rumah tampak ditumbuhi lumut. Masjid penuh debu dan rusuh. Bangunan-bangunan tak berpenghuni.

Rupa-rupanya inilah Desa Mindi yang biasa disebut pula Kota Mati. Penduduknya pindah. Menghindari semburan lapindo yang terus aktif dari perut bumi. Ilalang tumbuh meninggi menutupi sebagian reruntuhan.
Innalillah. Kami hanya manusia, Allah-lah yang Maha Mengatur segalanya. Jika ditelisik ini memang akibat ulah manusia. Tempat bor yang unpredictable dan semburan lumpur yang luar binasa.

Di ketinggian tanggul-tanggul memanjang. Kami mendekatinya. Di gerbang kami diizinkan masuk oleh pak satpam.

"Nanti pulangnya lewat sini lagi, biar tak tersesat. Hati-hati," pesan beliau sopan. Dalam hati aku bertanya-tanya, sepagi ini beliau sudah stand bye.

"Gimana kalo malem ya, Mbak? Pak satpamnya nggak takut sendirian jaga di situ?" pertanyaan retoris dari rekanku. Entahlah setidaknya beliau bertanggungjawab untuk itu.

Motor kami mendaki, mendekati tanggul bertemu langsung dengan sang lumpur. Sang tokoh utama dalam beberapa tahun awal; saat PT. Lapindo mengubahnya menjadi lautan di media. Kini beritanya sudah usang padahal lumpurnya terus memasang.

"Lumpur-lumpur ini masi aktif. Sudah banyak desa yang ditenggelamkan. Penduduknya terpaksa meninggalkan kampung halaman," rekanku menjelaskan bak guide bagi sang pelancong. Tangannya menunjuk-nunjuk. Menjelaskan nama-nama desa yang dulu ada.

"Ini boleh dipegang 'kan,?" tanyaku memberanikan diri. Siap melangkah memasuki area lautan lumpur.

"Boleh saja. Itu lumpur biasa. Hanya saja bercampur dengan aneka bahan kimia," nadanya melarangku. Aku tak benar-benar ingin. Lumpurnya pasti sangat dalam dan aku tak mau terjebak di sana.

Di kejauhan burung bangau terbang rendah. Hanya beberapa detik selanjutnya terbang lagi. Segerombolan burung-burung berwarna coklat kehitaman terbang melintasi langit. Aku bergidik ngeri. Mereka mungkin merasakan kesepian ini.

Menyengat. Begitulah sang lumpur tercium inderaku. Kami memutuskan pulang sebelum kami mati kelaparan. #eh

Masih di Mindi, kami mengunjungi Taman Apkasi. Taman yang dibangun di bekas Pasar Porong. Hiburan yang masih tinggal di daerah itu. Tak semuanya pindah memang. Harga tanah yang terlampau tinggi atau tempat yang tak sesuai dengan harapan. Mungkin membuat mereka tempat tinggal.

Sekolah di sekitarnya ada yang masih berdiri namun sepi. Bahkan makin ke sini terancam tak akan ditinggali lagi. Lumpur terus aktif dan entah kapan berhenti. Semoga saja ada anak pribumi, pertiwi yang dapat meneliti. Agar desa yang tenggelam bisa kembali beroperasi atau minimal lumpur berubah menjadi pundi-pundi.

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Thaghabun: 11)

Kami mampir dulu di Pasar Porong Baru. Menikmati beberapa tangkup roti goreng lalu kemudian pulang ke rumah. Seratus enam puluh kilo meter perjalanan pagi itu. Kami kembali melewati perkebunan tebu, kali mati dan Makam Kembar yang dipenuhi tumbuhan indah bak taman.

"Di sini pernah bajir?" tanya yang datang saat kuperhatikan air hampir meluap dua jengkal saja dari sungai. Pertanyaanku dijawab dengan gelengan kepala. Tak pernah banjir. Mungkin karena airnya dimanfaatkan untuk kebun dan sawah.

Sesampainya di rumah kami segera saja menyantap nasi yang kepulannya membubung tinggi. Berasama aneka sayuran, ikan presto dan tempe goreng. Tak ketinggalan kerupuk kotak-kotak. Kami menghabiskannya ditemani Marsha and the Bear yang berceloteh di kotak ajaib.

Hujan terus menghujam kota. Aku terus menikmati semangkok bakso Cak Yono. Pengganjal favorit sejak esde. Satu raja gendut dan tiga prajuritnya yang setianya. Semuanya kuhabiskan dengan uang delapan ribu. Cukup murah dan mengenyangkan.

Aku tak berjalan cepat-cepat lagi. Sebuah motor jemputan tlah menanti. Dan akupun kembali.

Jazakillah, Dek Ani halan-halannya.



Kawasan Lumpur Lapindo

Mindi yang sunyi
Bakso Cak Yono