Imajinasiku
sedang mengembara di sekitar SMA Noceng karangan Asma Nadia. Bacaan yang aku
dapatkan ketika menggelar Taman Baca FLP Pamekasan di Arek Lancor. Banyak buku
seru yang dibawa ke sana. Jadi ada beberapa yang kubawa pulang. Salah satunya
serial Aisyah Putri.
Di sanalah aku berada ketika ponselku berdering. Dari adik kandung
beribundakan kontrakan Yasmin.
“Mbak, ngerti shirah sahabat? Yang meminta ditemani untuk melamar, tapi
mendapatkan jawaban yang mengejutkan?” pertanyaan yang membuat imajinasiku buyar
seketika.
Kisah sahabat yang sangat fenomenal di Yasmin. Cerita yang pernah kubawakan
di sela makan malam. Terang saja aku ingat. Itu bikin baper mentemen. Romansa
yang aku dapatkan dari buku Jalan Cinta Para Pejuangnya Salim A. Fillah.
Sedikit disinggung juga dalam tulisan Bunda Sinta Yudisia, Kitab Cinta dan
Patah Hati.
Adik ini belum masuk Yasmin ketika cerita itu aku utarakan di depan
mentemen. Nggak tahu. Rupanya dia sedang diberi kuis sama senior Yasmin untuk melengkapkan
teki-teki kisah itu.
“Katanya disuruh minta tolong tanya antum. Soalnya kalau cerita baper
begini antum paling hafal.”
Haha, berasa love expert gue.
Okay, here we go!
***
Rasulullah mempersaudarakan Muslim Mekkah dengan sahabat di Madinah.
Dampaknya sangat terasa. Terutama pada iman dan ikatan ukhuwah mereka. Apalagi
para muslimin Mekkah baru saja terasingkan dari kota kelahiran.
Sebut saja ukhuwah antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin
Rabi’. Sahabat kita yang kaya itu tentu saja menjadi tak punyai apa-apa saat hijrah. Alias berada di titik nol. Dan Sa’ad bin Rabi’ adalah
sahabat terkaya di Madinah. Atas keimanan yang
sangat ia bahkan mempersilahkan Ibnu Auf menikahi istri yang dicintainya. Jika
memang beliau menghendaki.
Tapi Abdurrahman bin Auf pun adalah sahabat yang tak mungkin membuat
saudara barunya itu sakit hati. Ia hanya meminta ditunjukkan letak pasar. Di
sana ia kemudian memulai usahanya kembali. Dari awal.
Salman Al-Farisi, pahlawan kita, ahli taktik perang di perang Khandaq, juga
mendapat sahabat yang tak kalah hebatnya di
Madinah. Dengan Abu Darda’, Rasulullah mempersaudarakan ia.
Eratnya persahabatan mereka hingga kaum Anshar Madinah rela melakukan apa
saja demi saudara barunya, Muhajirin Mekkah.
Dan Allah-lah sang Maha Cinta yang memberikan rasa. Satu tetesnya menyentuh
Salman dan tumbuh di hatinya. Pada seorang gadis Madinah rasa itu tertuju.
Sebagaimana laiknya pemuda jantan tentu saja ia menolak pacaran. Pasti ia
hafal betul dengan sabda Nabi yang mengingatkan, bahwa obat mujarab orang yang
sedang jatuh cinta adalah menikah.
Ya, pendatang Makkah ini bermaksud menghargai perasaan yang Allah berikan. Demi
menghormati perempuan Salman pun memilih menghalalkannya. Ia membulatkan tekad untuk menikahi sang gadis.
Maisyah yang selama ini Salman kumpulkan telah ia
persiapkan untuk pujaan hatinya tersebut. Semuanya hampir sempurna. Hanya saja
ia belum berani mendatangi rumah gadis itu sendirian. Dan hanya Abu Darda' satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
Maka padanya, Salman meminta ditemani. Sebagai sahabat Abu Darda' menyambut
gembira niat baik Salman.
Abu Darda' memulai perbincangan serius itu dengan mengenalkan dirinya dan
sahabatnya Salman. Kemudian setelahnya, maksud kedatangan mereka berdua juga
disampaikan pada sang Ayahanda gadis.
Beliau tahu betul kedudukan mereka berdua sangat mulia di sisi Rasulullah.
“Tak mungkin saya tolak niat baik kalian datang ke sini. Tapi biarkan jawabannya diberikan langsung oleh putri saya,” tutur sang Ayah lembut. Jawaban
yang membuat jantung Salman lebih berdegup kencang.
Di balik tabir, sang gadis tak langsung memberikan jawaban. Ada sedikit
diskusi di sana. Entahlah, tapi kita pun akan membayangkan bagaimana gugupnya
Salman menunggu.
“Kami tidak akan menolak pinangan ini jika yang meminta adalah Abu Darda'."
Ya, kedatangan mereka diterima. Tapi bukankah Salman yang meminta? Bukankah
Salman yang menyimpan sekian lama rasa? Rasanya menulis kembali cerita ini aku
tak sanggup.
Rantingnya telah patah, mungkin dedaunan yang selama ini tumbuh telah gugur
dan kering di tanah.
“Allahu Akbar!” pekik Salman Al-Farisi. Ia lalu mengucapkan tahniah bagi Abu Darda'. Sang sahabat yang telah berbuat banyak, membantunya selama di
Madinah.
Rantingnya telah patah, dedaunan yang selama ini tumbuh telah gugur dan
kering di tanah. Tidak, itu mungkin kita yang tak sanggup menerima kenyataan.
Nyatanya Salman tetap berdiri tegak. Faktanya, semua maisyah yang telah
ia persiapkan untuk pernikahan, Salman berikan semua-muanya untuk Abu Darda'.
Pun mahar untuk sang pujaan.
Tidak, bahkan bunga tumbuh di sana dalam iman. Dalam rahmat Tuhan. Allah
yang menegarkan Salman. Yang membuat kuncup sempurna mekar meski kemarau
panjang nan tandus menghampiri rasa.
Kau tahu ini karena apa? Tentu saja berkat iman. Didikan Rasulullah dalam
halaqah-halaqah saban hari.
“Mbak tahu siapa nama perempuan yang dilamar Salman?” adikku bertanya
antusias di ujung sana.
Sayang dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang tidak disebutkan. In
earnest, I’m so curious abouth the girl’s name. Tapi Bunda Sinta nampaknya
membocorkanku.
Disebutkan di Kitab Cinta dan Patah Hati bahwa istri Abu Darda' adalah Hujaimah binti Huyay.
“Kau datang meminang pada pada orangtuaku saat di dunia, maka kupintakan
engkau pada Allah untuk menjadi istrimu di surga,” janji Hujaimah di
detik-detik terakhir sang suami.
“Kalau begitu janganlah engkau menikah lagi sepeninggalku,” pinta
Abu Darda' sebelum ia memejamkan mata dan husnul khatimah.
Jadi namanya Hujaimah binti Huyay. Tapi kemudian aku berpikir, benarkah
shahabiyah yang ini? Yang menolak pinangan Salman?
Mengingat dalam sebuah referensi lainnya mengatakan Hujaimah adalah istri
Abu Darda' yang kedua. Dan Hujaimah adalah anak angkat Abu Darda' saat ia
kecil dan remaja. Jika memang iya, pelik sekali ya kisah ini. Setidaknya
menurutku.
I don’t know how to say but, kisah Salman boleh
membuat hati pembaca berlinangan air mata dan baper. Yet, kita juga
harus belajar bagaimana ia tetap bangkit berdiri menatap kehidupan. Bukan malah
sedih berkepanjangan dan lalai akan perintah Tuhan.
Rumit memang. Sungguh! Tapi sejarah mengatakan demikian.
Oia, kalau mentemen punya rujukan yang dapat dipercaya tentang nama akhwat
yang menolak Salman, boleh ya infonya dimasukkan dalam kolom komentar.
Anyway, aku salut dengan keberanian shahabiyah itu. Pilihannya mantap dan
tidak takut. Tidak ragu-ragu. Berani menolak Salman dan berani meminta
Abu Darda'.
Masya Allah, begitu unggulnya Abu Darda' hingga ialah yang terpilih. Bukankah kita memang harus memilih lelaki yang
paling baik agamanya? Pun akhlaknya. Abu Darda' mah sudah terjamin yak. Lihat
saja beliau berani mengantar dan menemani sahabatnya melamar akhwat.
Terus abis ini, ikhwan-ikhwan sholeh yang tau kisah ini pada nggak mau
ditemenin sahabatnya. Takut akhwatnya salah pilih. Haha, kata Mbak Yul gitu.
Tapi biar nggak rumit, boleh deh ikutin tipsnya Bang Tere Liye, bawa rombongan
sekeluarga. Biar akhwatnya tahu kesungguhan hatimu.
Ups, udah seribu kata aja. Sudah sampai mana tadi? :D
Oh, iya, sepertinya sudah saatnya mengembalikan buku-buku ke Rumah Cahaya
FLP Pamekasan. Yuk, cus! Eh masih dua buku lagi yang belum.
Hadeuh.. :p
Hadeuh.. :p