Kelas Translation pagi itu dimulai dengan pertanyaan,
"Apa Bahasa Madura-nya 'mereka'?" ada berbagai jawaban terlontar. Mulai jawaban yang masuk akal hingga nyeleneh.
"Nak-kanak,"
"Sampiyan sadhajha"
"Oreng"
"Reng-oreng"
"Ajuwah"
Jawaban teman-teman ditangkis dengan sangat lihai oleh Sang Dosen. Dosen yang ternyata orang jawa itu, ternyata mengerti banyak tentang Madura.
"Ajuwah"
Jawaban teman-teman ditangkis dengan sangat lihai oleh Sang Dosen. Dosen yang ternyata orang jawa itu, ternyata mengerti banyak tentang Madura.
"Iyalah, dosen Translation itu harus ngerti banyak bahasa," celetuk teman yang berjarak 2 bangku dariku.
Nak-kanak? Nak-kanak dalam Bahasa artinya anak-anak. Sampiyan sadhaja artinya kamu sekalian. Oreng, orang. Ajuwah, itu (Madhura-nya orang Bangkalan nih). Tak ada yang benar. Anak-anak keukeuh. Pasti ada kata itu dalam Bahasa Madura. Segala kosa-kata disebut. Dan tentu saja tak ada yang berhasil. Karena kata mereka dalam Bahasa Madura memang tidak ada.
Tidak ada? Iya, orang Madura tak pernah mengatakan kata tersebut. Pertarungan sengit kata pun selesai. Ini faktanya :D
Memang tak ada. Tapi untuk kata yang berhubungan dengan mereka atau kita, maka dalam Bahasa Madura biasanya ditambahkan kata sadhajha atau sakabbhina. Dua kata ini jika diterjemahkan ke dalam Bahasa artinya semua.
Untuk kata mereka dalam Bahasa Madura biasanya memakai sampiyan sadhaja, kamu semua. Kata kita menjadi kaule sadhaja yang berarti aku dan semuanya.
Jadi, nggak semua bahasa memang bisa diterjemahkan. Menjadi seorang penerjemah harus tahu budaya juga. Misalnya lagi Kebab-nya orang Arab atau India. Kita sih bilang roti. Tapi menurut mereka bukan. Berbeda roti dan Kebab. Roti ya roti. Kebab ya Kebab.
Topik di kelas Translatin hari adalah Translation and Culture.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar