Apa? Ayam? Bagi kami ayam adalah masakan istimewa yang hanya dimakan saat lebaran. Apalagi soto ayam khas Pamekasan. Beuh.. Nggak ada yang nandingin rasanya. Pizza aja kalah.
Oke, sebenarnya itu tiada kaitannya. Yang ada hanyalah pertanyaanku selama ini terjawab. Bagaimana orang sepintar dan secakep itu tulisannya amburadul? See, faktanya memang begitu. Sampai aku berpikir kalau aku jadi dokter mungkin takkan separah itu.
Waktu itu kita rapat. Hanya berempat. Dan menggunakan hijab*itu yang pembatas cewek-cowok di masjid. Pengeras suara yang teramat nyaring membuat kita menulis isi rapat di kertas. Jadilah semacam surat-suratan. Ketika kertas berada di daerah sebelah, benda itu menginapnya lamaaa. Voila, waktu kami terima, tulisannya sangat bagus dan rapi. Cantik! Seperti bukan tulisan lelaki.
Di kelas aku mempunyai seorang rekan yang tulisannya tak beraturan. Sayangnya dia seorang perempuan. Sebaliknya dosen yang mengajari kami puisi sangat senang tulisan yang rapi. Nilaimu bisa berkurang gegara tulisan cakar ayam.
"Cewek kok tulisannya begini. Yang rapi dong! Kalau kalian sabar pasti tulisannya bagus. Tak usah keburu-buru dikejar waktu," kira-kira begitulah nasehat ketika menemukan tulisan mengerikan.
Sabar! Tentu saja.
Aku pernah berobat ke rumah dokter. Dan antriannya hingga larut malam. Padahal mendaftarnya dari siang. Di rumah sakit pun daftar jam delapan, jam sebelas pun belum tentu kelar. Lihat! Rumah sakit hanya memiliki beberapa dokter dan pasien yang mengantri membludak.
Waktu! itu jawabannya!
Para dokter memburu waktu. Ada banyak pasien yang menunggu. Begitulah mengapa tulisan resep dari dokter carut-marut seperti cakar ayam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar