Seminar ini terselenggara Sabtu, 27 Februari 2016 kemarin. Wah sudah lebih sebulan ternyata :grin: Kami dari FLP Bangkalan berangkat berdua saja. Lumayan menggunakan tiket gratis dari FLP pusat. Tamu kehormatan alhamdulillah dapat fasilitas VIP; duduk paling depan dan jatah makan siang. Mantap! Jadi dapat menangkap materi dengan jelas.
Ada kejadian lucu sebelum masuk ruangan. Aku dan Dek Ani ikutan antri di bagian registrasi. Antriannya mengular. Panitia kemudian membagi antrian sesuai huruf abjad. Dek Ani, yang nama depannya dimulia dengan huruf A di bagian kanan. Aku yang 'S' di antrian sebelahnya. Kemudian tiba giliran kami mengisi form. Setelah dicari ternyata nama kami tak ditemukan. Ternyata oh ternyata, nama kami terderet dalam daftar tamu undangan. Ups!
Dimulaih acara. Dua orang MC maju ke depan peserta. Namanya, umm I
did’nt catch it. Aku kurang perhatian ternyata. Nadia Taftazani, ketupel acara kemudian
memberi sambutan setelah MC menyilahkannya. Kalimat yang saya catat di buku
saat Mbak Nadia maju, “Jika kau tak tertulis dalam sejarah maka menulislah!”
Ya, tentu saja itu kalimat yang membuat semangat kembali berkobar.
Kemudian Bunda Shinta maju, beliau memberikan kami berita gembira. Ada tamu
spesial dari Jombor Baru Malaysia. Anggota FLP juga. Shugoi yo! Materi pertama dari Bunda Shinta Yudisia
sebagai keynote speaker. Bunda menyampawikan banyak hal terkait sastra.
Katanya, menulislah hanya untuk kebaikan. Jadikan penamu bak tongkat
Musa yang kehadirannya dapat membelah lautan dan menyelamatkan
orang-orang. Seperti Sayd Qutb bilang, satu peluru hanya menembus satu
kepala, namu pena bisa menembus ribuan hingga jutaan pembaca.
Sastra Santun di Era digital. Itu tema seminar nasionalnya. Dalam
pidatonya Bunda Shinta mengutip perkataan David Karnoff, kita tidak bisa
mengkambinghitamkan teknologi. Ya, sadar-tidak sadar kita banyak ditolong oleh
teknologi. Bagaimana tidak, jika dulunya memanggil saudara yang sedang di sawah
biasa menggunakan loudspeaker desa sekarang tinggal calling saja. Dulu,
berjam-jam di warnet sekarang bisa pakai paketan data smartphone. Mudah.
Setidaknya teknologi dapat membantu banyak. Terutama bagi kita; penulis.
Penulis yang selalu menyebarkan kebaikan. “Janganlah kau jadi pribadi yang
datangmu tak menggenapkan, pergimu tak mengganjilkan,” kata Hamka. Penulis yang
sama sekali tak diharapkan tulisannya. Apalagi jika tulisannya memberi pengaruh
yang ‘mengesankan.’
Sebagai penulis tentunya kita harus memiliki arah. Tujuan yang pasti.
Juga menjauhi adat-adat yang buruk. Menulis dengan cara santun dan terhormat,
begitu Bunda Shinta menyampaikan. Teruslah menulis untuk kebaikan. Biarkan
honor dari Allah datang. Tak peduli media menolak ratusan.
Bunda Shinta mengisahkan bagaimana cerita bagusnya yang dimuat media,
kemudian honor tak datang meski itu adalah hak penulisnya. Kabar bagus datang
kemudian. Sang penulis dihubungi orang Korea terkait karangannya dan mendapatkan
penghargaan yang lebih pantas.
|
Keroncong pelipur lara formasi lengkap |
Sebelum seminar benar-benar dimulai Keroncong Pelipur Lara menyenandungkan lagu-lagunya. Menghibur kita sebelum pemateri tiba. Bengawan Solo, lagu pertama yang dibawakan. Aransemennya indah. Berbagai alat musik mereka mainkan. Aku kagum dengan pemain biolanya. Jadi ingat Teh Lia yang suka banget biola.
|
Pemain biolanya yang sebelah kanan |
Lagu kedua yang dibawakan Selamat Ulang Tahun-nya Jamrud.
Lagu terakhir pas sekali dengan kedatangan Bunda Asma Nadia; Jilbab Traveller. Bunda malah tak langsung duduk di kursi kehormatan. Dari awal lagu beliau merekam aksi Keroncong Pelipur Lara dalam video. Keren deh mereka. Karena semua pemateri telah lengkap maka dimulailah acara.
|
Bunda Kun |
Moderatornya sangat interaktif lho. Dosen jurusan kimia. Dosen UNY. Bu Kun namanya. I learnt a lot from her. Dosen
kimia yang mencintai sastra. Keren ‘kan? Jarang-jarang lho. Terus semuanya
diibaratkan dengan hal-hal yang berbau kimia sama moderator ini. Sayangnya aku
lupa namanya. i really thank for your, knowledge you gave me. Moderatornya keren.
Tersesat dalam jalan yang indah, kata beliau mengisahkan. Awal beliau
bersama sastra. Senang dalam kegembiraan. That’s why beliau masih setia bersama
sastra. Santun dalam kata, halus dalam makna.
Empat Materi dari Empat Narasumber
|
Semua pemateri dan moderator seminar nasional |
Narasumber pertama Evi Idawati.Latar belakangnya seni. Sepertinya
beliau pecinta teater. I guess. Jika kau mencintai puisi, so when you see how
she act in the stage you will got poems flow naturally there. Pilihan katanya selalu membuat darah berdesir cepat. Merinding. Suka
deh sama aksi panggungnya. Aku tak dapat mencatat semuanya. Tapi ini kata-kata
yang berhasil aku tulis dalam buku kecil.
|
Evi Idawati |
Menjadi artis adalah mimpi orang-orang yang ingin populer. Namun
popularitas hanyalah sementara. Allah-lah yang kekal. Tuhan Allah, adalah
puncak segala tujuan. Maka dengannya akan dimiliki kehendak dari kekuasaan
Tuhan.
Raihlah kemuliaan! Kemuliaan adalah kebersamaan dengan Tuhan, kata Ibnu
Arobi
Menghapus kejahatan. Menggempur arus pornografi.
Kebaikan akan menjadi cahaya yang abadi dalam diri kita.
Di detik-detik terakhir, beloau menyampaikan harapannya pada FLP.
Semakin bercahaya, menjadi lentera di mana saja. Shugoi, desu yo ne?
|
Kang Irfan dan Teorinya |
Selanjutnya Kang Irfan, begitu beliau ingin dipanggil. Soalnya beliau
dari Sunda dan narasumber yang satu lagi juga namanya Irfan. Jadi biar beda.
Satunya Kang Irfan, dan satunya Mas Irfan. Irfan yang ini namanya lengkapnya
Irfan Hidayatullah. Dosen UNPAD Bandung
Karena beliau adalah dosen, mari kita berteori sejenak. Menurut beliau,
sebenarnya teknologi tak beri pengaruh terhadap wacana. Namun dalam puisi
bentuk akan mengubah makna. Kita tahu kan, ada puisi yang kata-katanya ditulis
sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai bunga, hati danlain sebagainya. Nah,
pasti berbeda rasanya jika membaca puisi di layar sekian inch dengan puisi yang
dicetak dalam bentuk buku. That’s why. Meski begitu secara umum yang berubah
hanya alatnya saja. Intuisinya sama.
Setelah dua narasumber tadi memberikan limpahan ilmu, moderator
berkomentar, “Mbak Evi yang dramatis dan Kang Irfan yang teoritis.” Sastra
seperti hukum kekelan massa karena sastra sudah diciptakan sejak zaman dahulu
kala. Sejak zaman Adam. Hanya casing-nya saja yang berubah. Anak cucu yang
berupa pena, buku, dan gagdet.
|
Mas Irfan, pemateri ketiga |
Jika sebelumnya Kang Irfan
pembicara berikutnya Mas Adam. Beliau mengangkat tema, Media Sosial sebagai
Personal Branding. Ya, saking dahsyatnya sosial media. Zaman sekarang medianya
beragam. What’sApp, Telegram sampai Facebook yang masih bertahan meski
diterjang gelombang. Dengan media-media tersebut kita bisa menggairahkan minat
membaca masyarakat Indonesia.
Tahu kan, minat baca orang Indonesia. Dari beribu orang, hanya satu
saja yang suka membaca. 0,01 hasil dari penelitian organisasi PBB. Padahal
tradisi literasi harus diwariskan dari generasi ke generasi. Seperti membaca,
menulis, berdiskusi hingga publikasi. Nah, media sosial salah satu alatnya.
Kabar baiknya Jogja menjadi kota tertinggi minat bacanya dibanding kota
lainnya. Miris, mengingat di sekitar kampusku tak ada satupun toko buku.
Bagaimana mau bersaing dengan Jogja T.T Bangkitlah..
Kabar gembira lainnya ada aplikasi yang mendukung para pecinta buku.
Moco namanya. aplikasi bikinan anak Jogja. Keren deh! Di aplikasi ini ada hak
ciptanya. Jadi karyamu tak akan bisa di-copy paste. Tentang pembicara ini,
Bunda Kun sebagai moderator menyebutnya sebagai penyimpan energi. Apa ya,
istilah kimianya. Aku lupa.
And here we are! Pembicara yang ditunggu. Asma Nadia dengan balutan
kerudung pink. Cantik. Trailer Pesantren Impian diputar terlebih dahulu.
Lampu-lampu dimatikan dan kesan horor-menegangkan kemudian datang.
|
Bunda Asma Nadia |
Kenapa film horor? Film-film pendahulu Asma Nadia kebanyakan bertemakan
cinta-remaja dan rumah tangga. Katakanlah Assalamu’alaikum Beijing, Aisyah
Putri dan Surga yang Tak Dirindukan. “Film horor adalah puncak
amarah saya,” ungkap Bunda Asma. Ya, nggak sih?
Lihat saja film-film horor Indonesia yang nggak genah semua. Mana ada
yang benar. Dari mulai yang ngesot sampai datang bulan. Aneh semua! Pornografi?
Ugh, itu tuh pasti ada. Makanya Bunda Asma ingin melawan yang satu itu. apalagi
sebagai anak FLP. Karena tidak mustahil setelah mereka nonton, mereka akan
membaca bukunya juga. Kudunya kita dukung film-film religi. Tak harus film Asma
Nadia, film-film yang lain juga bagus. Bulan Terbelah di Langit Eropa adaptasi dari novel Mbak Hanum misalnya.
Film religi menurut beliau adalah program dakwah. Siapa tahu kita dapat
menghijrahkan produser-produser yang nggak genah itu. Bagaimana caranya? Nonton
di hari pertama karena hari itu menentukan lanjut tidaknya sebuah layar. Tak
bisa nonton, sedekah twit! Jangan pelit! Setidaknya kita bisa mempromosikan
film-film bermutu bagi masyarakat. Film yang menampilkan nilai-nilai islami. Ibarat
restoran padang, yang baik-baik kasi tahu orang-orang, yang buruk kasi tahu
produsernya.
Dan juga sebagai penulis, pastikan yang baik-baik saja yang kita tulis.
Tulisan yang meninggalkan pesan di dalamnya. Pesan yang membuat kita abadi
dalam karya.
“Kalau menurut saya, Asma Nadia ini adalah katalisator. Reaksi yang
menimbulkan reaksi berikutnya,” respon moderator setelah Bunda Asma
menyelesaikan materinya.
Beberapa Pesan
|
Pemateri dalam sesi tanya-jawab |
Pesan ini yang saya catat ketika sesi seminar akan berakhir. Tepatnya
saat sesi tanya-jawab antar pemateri dan peserta.
Kita mulai dari Bunda Asma yang berbicara tentang kepenulisan.
Mengapa menulis? Banyak orang ingin-mau menjadi penulis, mengapa kau
juga? Matahari terbit di timu dan tenggelam di barat. Mengapa kau ingin menjadi
penulis? Cari! Tumbuhkan alasan yang kuat yang kalau kau tak menulis
hari-harimu hampa. Tiada artinya. Kalau saya, karena saya tahu umur saya
terbatas. Satu buku sebelum mati, BISA!
Sebelum menulis, berwudhu-lah terlebih dahulu. Mudah-mudahan tulisanmu
bisa menjadi ibadah. Terkait film, religi bisa kok di semua genre. Dan Pesantren
Impian, mengapa pesantren? Pesantren itu rumah kebaikan. Budget, mau kecil
mau besar dakwah adalah tentang kesempatan.
Kang Irfan kemudian menjawab tentang anak yang suka membaca. Keponya anak harus diarahkan. Sebagai Ayah juga harus lebih banyak
belajar. Jangan salah, Ayah juga harus disekolahin. Apalagi ketika anak sudah
sanggup memilih. Hantu pertama adalah idealisme yaitu peluang yang seringkali
dibatasi orang tua. Itulah tugas orang tua, bagaimana mendapatkan ikan dengan
meninggalkan kolam yang tetap jernih.
Di sini Mbak Evi menambahkan. Sebagai orang tua, harusnya kita menjadi
karib yang bersama-sama dalam kebaikan. Beliau seringkali membeli reward
terhadap anak-anaknya ketika selesai membaca buku.
Pentas Teater Pena dari FLP Jogja
|
Penyerahan kenang-kenangan |
Sesi tanya-jawab pun berakhir, selanjutnya penyerahan kenang-kenangan
kepada pihak sponsor.
|
Salah satu adegan teater |
Setelahnya, kita dikejutkan lagi dengan matinya lampu-lampu. Ternyata
Teater Pena, dari FLP Jogja menampilkan sebuah kejutan. Show yang apik. Mereka
menyajikan kisah keluarga. Ayah yang pemalas. Anak yang kerjanya minta uang
saja. Aku lupa detailnya, namun yang aku ingat mereka keren!
|
Pemotongan tumpeng oleh Bunda Shinta |
Pentas selesai saatnya pemotongan tumpeng! Dipotong langsung oleh Bunda
Shinta. Tumpeng kuning beserta lauk-pauknya, mau?
Kopdar di Stand Up Comedy!
|
Boim Lebon dan MC |
Acaranya mau bubar nih. Tapi untung ada Boim Lebon. Beliau maju ke
depan menghibur kita. Tahu kan yang bikin LUPUS sama Hilman. Di depa, beliau
berkolaborasi dengan MC cowok yang ternyata nggak kalah gokil.
“Saya tahu mereka sering latian di pantai?”
“Kok tahu?”
“Soalnya mukanya pada item-item :D”
Selain banyolannya Boim Lebon, tenyata aku bertemu anak Solo yang sudah
sekian tahun temenan di Efbi. Namanya Haniah Dia yang dapet buku barunya Boim Lebon. Tahu
gitu, kan ngobrol ngalor-ngidul. Tahunya pas dia aplod di Efbi. Aku sebelumya
nggak begitu ngeh juga. In another time, maybe ya..
Kesan; Kerennya Panitia dan Acara yang Apik
Selesai acara ditutup dan sebelum acara seminar dimulai, panggung
menyajikan musik keroncong. Dan sebelum itu, aku terpesona dengan kerja Sie.
Perlengkapan I guess. Bagaimana orang-orang dengan dresscode sama medatangkan
kursi-kursi ke atas panggung.
Ini juga terjadi ketika teater akan dipentaskan. Bukan teater
sepertinya. Musikalisasi puisi lebih tepatnya. Mereka dengan kompak membereskan
kursi-meja narasumber dari atas panggung. Kerjanya rapi! I’m proud of you
guess. FYI, aku nggak pernah jadi Sie. Acara seumur-umur. Nggak ada yang nanya
>_<
PDD-nya juga oke! Cie, yang langganan jadi PDD. Mereka bikin batas
untuk moto. Iyalah, ini kan acara nasional. Trus sekarang zamannya gadget dan
Instagram, pasti deh hobi fota-foti. Indeed, FLP yang notabene suka nulis,
pastinya pada punya blog yang bakal nulis pengalamannya. Dan tentu ditambah
foto tentunya. Kayak gue ya? :D
Di lantai bawah, satu tingkat di bawah ruang seminar ada background kece yang bisa dibikin foto-foto. Lucu-lucu. Ada tulisan top be-ge-te juga. Topeng-topeng Pesantren Impian Bunda Asma juga ada. rame dah. Jadi inspirasi kalo ada acara-acara.
Became a Winner!
|
Hadiah Lomba Livetweet FLP |
Daan yang palin paling berkesan, aku jadi juara! Yeay! Alhamdulillah. Juara apakah itu? Jadi pas acara itu ada loba livetweet. Dan satu di antara tiga-nya itu aku. Hontoni yokatta. Pemenang lainnya ternyata teman sebelahku, dari FLP Jawa Barat. Nggak nyangka. Yang satunya cowok. Nggak kenal :D
Good bye Jogja! Abis acara itu, kita sholat-makan siang dan pulang. Kapan-kapan semoga ngumpul lagi sama teman-teman FLP se-dunia. Aamiin..