How We got
There
Sejak ba’da Shubuh, di bawah gerimis yang
jatuh di pulau Garam, tujuh orang bidadari berlarian kecil berlindung dari
hujan yang jatuh ke bumi. Berkumpul di halte, menunggu kendaraan yang sudi
mengangkut diri yang sedikit menggigil. Tepat tiga puluh menit dari angka lima,
kami pun berangkat. Menuju Suramadu, penghubung dua pulau; Jawa dan Madura.
Tepatnya Kabupaten Bangkalan dan Kota Surabaya sana. Konon menurut ibu ketua, rute
ini jalan tercepat agar kami tak datang terlambat.
Namun nyatanya tak sesuai perkiraan. Menunggu
dan terus menunggu. Bis besar yang biasanya lewat tak kunjung memunculkan badan
bongsornya. Jam setengah delapan, barulah kemudian kami memutuskan menaiki
mobil yang sedari tadi menawarkan diri menjadi alternatif kami. Maka dengan
tiga penumpang tambahan berangkatlah mobil membelah lautan.
Gerimis masih melawat bumi saat kami sampai di
Kota Pahlawan. Langit masih muram, congkak dengan kelabu yang ia tawarkan. Kami
bertujuh anggota FLP Bangkalan bergegas mencari bis tujuan. Bis tua yang
akhirnya memilih kami. Mesinnya tampak sangar dengan suaranya menderum geram.
Bisa ditebak, bis yang kami tumpangi mogok di Pasuruan. Dan itu semakin
menambah keterlambatan kami. Bis hijau nan elegan, ke sanalah selanjutnya kami
berpindah tempat. Menyisakan bis tua mengigil di jalanan.
Terilhami Pasuruan
Daripada tergugu kala menunggu, kuperhatikan
jalan saat memasuki kota Pasuruan. Persemedian ini dimulai ketika bus tua
merengek. Bermula dari sebuah reklame yang terpasang di pinggir jalan. Sebuah
ajakan Diskominfo Pasuruan. Intinya mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan
uang kepada pengamen, pengemis dan pengelap kaca mobil. Melihat itu segera saja
aku menggerakkan jemari; mencatatnya. Aku terinspirasi sesuatu.
Berganti bus elegan berwarna hijau pun lamunan
terus berlanjut. Renungan berganti ketika banyak pekerja sedang berusaha
mendestruksi dan membangun trotoar. Pemandangan itu berlangsung lama. Inspirasi
kemudian muncul kembali. Ditambah melihat pedagang minuman yang terjepit.
Seorang yang tampak sebagai adik-kakak
terlihat saling berpelukan. Beragam minuman bubuk dalam sachet bersembunyi di
belakangnya lengkap dengan alat penghancurnya; blender. Sementara itu para
pekerja sedang menhancurkan material trotoar lama di kanan-kiri mereka berdua.
Kalau kita telaah kembali, sebenarnya fungsi
trotoar adalah side walk. Tempat untuk para pejalan, mirisnya fasilitas
ini banyak diambil alih pedagang kaki lima. Sudah ribuan barangkali Satpol PP
mengusirnya namun tak banyak pedagang terinspirasi untuk taubat.
That’s why Fathia
Izzati, seorang vlogger yang bercerita pada dunia bahwa kebanyakan orang
Indonesia lebih banyak bepergian menggunakan motor. Selain karena menghindari
kemacetan, khususnya di Ibu Kota adalah karena fasilitas side walk yang
tidak memadai. Atau karena diambil alih? Whoaa, jadi ingin teriak rasanya.
Tradisi Oral dan Minak Koncar
Sekitar jam satu siang bis hijau pak kondektur
mengatakan akan tiba di Terminal Wonorejo. Namun berdasarkan arahan dari
panitia, seharusnya kami berhenti di Terminal Minak Koncar. Awalnya sempat
bingung juga tapi ternyata hanya perbedaan istilah saja. Seperti Bu Hanifah
paparkan di kelas LRM, bahwa kebanyakan orang Indonesia masih menganut tradisi
oral. Lebih terkenal apa yang dikatakan
orang-orang daripada yang tertulis di papan.
Misal di bandara, sudah jelas tertulis tujuan
ini, itu ke mana namun masih saja bertanya pada orang di sekitarnya. Ya
samalah, dengan kasus terminal tersebut. Tertulisnya Minak Koncar tapi orang
lebih mengenalnya Wonorejo. Di Pamekasan juga ada, tertulis nama pasar Tujuh
Belas Agustus, namun orang lebih mengenalnya dengan Pasar Bara’. Atau sekolah
di dekat rumah terkenal dengan SMEA, padahal tertulis SMKN I. Mungkin karena
dulunya bernama begitu.
Sesampai di terminal hal pertama yang kami
lakukan adalah mencari masjid karena panitia menyediakan angkutan untuk para
peserta di sana. Masjid dalam keadaan terkunci. Aneh juga ya, padahal itu
adalah fasilitas umum. Karena tak bisa masuk, kami memilih duduk di pinggiran
trotoal sambil melepas penat dan mulai menghubungi panitia. Selang beberapa
menit ada anggota FLP lain yang mendekat. Mbak Fitri dari FLP Lamongan dan Mbak Nur Gresik.
“Sudah sholat?” Mbak Nur yang bertanya
diiringi gelengan kepala rombongan. Ternyata ada jalan rahasia menuju masjid,
masuk ke sebuah area parkiran. Karena mobil jemputan belum kunjung tiba, kami
memanfaatkan waktu dengan menjamak sholat terlebih dahulu.
Mobil Jemputan dalam Imajinasi
Setelahnya kami ngobrol ngalor ngidul dengan
para anggota sembari menunggu. Mobil jemputan yang disediakan panitia untuk
mengangkuti kita. Karena hari waktu beranjak sore, sedangkan jam makan siang
akan segera lewat. Maka topik yang terpilih adalah gerobak bakso di seberang
jalan. Mulai deh sikut-sikutan siapa yang akan menjamin semua anggota dengan
traktiran.
Jangan ditanya deh mahasiswa yang sedang galau
akan isi dompet yang beberapa hari lagi ludes akibat perjalanan panjang. Maka
hingga akhir, tak ada yang bancaan. Selanjutnya semoga ada rezeki dari Allah
mentraktir kalian. Perbekalan sedang pas juga soalnya. Belum lagi kelar Writing
Camp langsung cuz bayar daftar ulang kuliah. Jadi doakan saja semoga
selanjutnya aku bisa.
Di chit-chat grup FLP Jatim sempat disinggung
perihal mobil jemputan. Dalam sebuah candaan ada yang mengatakan rombongan akan
dijemput menggunakan truk. Jadilah beberapa delegasi sibuk memperhatikan truk
yang lalu-lalang.
“Truk yang mana, Mbak?” tanya seorang anggota.
“Truk yang bercat merah muda,” mendengar penjelasanku mereka mangut-mangut, ”dengan
bumper senada warna lautan Indonesia; tosca,” yang mendengarkan alisnya mulai
mengerut.”Jangan lupa si pengemudi katanya mengenakan kaos merah menyala,”
sontak deh tertawa. Ketahuan bohongnya.
Jelas itu hanya imajinasi. Dasa pencinta fiksi
ya. Eh, tapi ada sopir berkaos merah kemudian mendekat. Menanyai kami. Itu dia
pengemudinya! Wah, imajinasi menjadi nyata nih.Tapi bukanlah, itu cuma sopir
angkot yang menawarkan diri. Aslinya panitia yang menjemput menggunakan kaos
biru-hijau. Seragam seluruh panitia Writing Camp 2016.
Ia datang dua jam kemudian. Hikmah menunggu,
kami jadi memilki waktu buat jama’ sholat dan saling berkenalan satu sama lain,
hingga berimajinasi sampai ke negeri berawan. Mobil pun melaju, menaiki
bebukitan. Menanjak dan terus maju hingga hawa dingin merasuk. Mengetuk pintu
dan membisiki sesuatu, “welcome to Writing Camp!”
Yosh! Kami pun bersorak kegirangan menyaksikan
bunga-bunga di kanan-kiri jalan. Aloha Gucialit, Lumajang! Sesampainya di
penginapan, kami disambut para panitia berseragam biru dan menuntun kami ke
jalan rahasia. Dari aula menuju ke kamar peserta.
Rentetan Recehan
Ada uang dapat berjalan-jalanlah kita. Meski
tak selalu begitu karena kita memiliki kaki pemberian Tuhan yang dapat dipakai
bersama sandal atau sepatu. Kita juga dianugerahi Allah kemampuan yang sangat
luar biasa, yang dengannya kita secara ajaib mengeluarkan pundi-pundi.
Alhamdulillah, perjalanan kali ini terbantu dengan lolosnya dua tulisan di
blog. Nikmat mana lagi yang akan kau dustakan?
Pun begitu mari kita rincikan. Seluruh
pengeluaran saat di perjalanan. Utamanya ongkos yang membawa kita dari dan
menuju Lumajang. Dari Telang kami menaiki angkot yang dikenakan Rp. 6. 000,00-
ke arah Tangkel, daerah menuju Suramadu. Dari sana kami menaiki mobil carry dengan
biaya Rp. 25.000 hingga Terminal Purabaya (Bungur) Surabaya. Bis Ak*s kena Rp.
35.000, bis yang kemudian ngadat di Pasuruan. Menuju lokasi kami dijemput.
Pulangnya, setelah diantar ke Terminal Minak
Koncar oleh panitia, kami menaiki bis yang lupa kuingat apa warnanya. Dengannya
kami ditagih Rp. 23.000 saja. Berbeda jauh ya. Bis ini mengantarkan kami
bertujuh hingga Terminal Purabaya. Dari sana kami lanjut menumpangi bus Damri
yang kemudian kena Rp. 6000, bis mengangkut rombongan sampai ke Pelabuhan
Perak.
Tetibanya di sana, kami langsung berlarian
mengejar kapal karena waktu menunjukkan jam sebilan lewat. Jam segitu, itu
giliran kapal terakhir yang berangkat. Kalau tidak cepat bisa terlambat dan
baru dapat keesokan harinya jam setengah tujuan. Karcis seharga, Rp. 5000 tapi
biasanya kalo menujukkan kartu mahasiswa bisa korting seribu.
Sampai di seberang alhamdulillah rombongan tiba dengan selamat di Pelabuhan Kamal. Kembali naik angkot menuju Telang dengan Rp. 5000. Dengan itu maka berakhirlah perjalanan hari itu. Stay tune, ya. Postingan selanjutnya aku akan bercerita tentang dua hari di Lumajang. Lengkap dengan rangkuman seluruh materi. Ja, ne!
Lumajang Jawa timur ya mbak...
BalasHapusBeh... lumayan deket lah sama tempat tinggalku itu mbak. wkwkwkwk
Suka banget sama gaya tulisanya mba hafidzah
Makasi, Mbak Rohmah ^^
HapusBaru tau ternyata Mbak Hafidzah anggota FLP Jatim to?
BalasHapuskeluargahamsa(dot)com
Iya, Mbak April. Salam kenal ^^
HapusPengen tahu kelanjutan ceritanya selama di Lumajang..
BalasHapusMari kita ke postingan selanjutnyaa ^^
HapusTrus jadinya ga jadi makan siang? baksonya gimana nasibnya? #gagal fokus...hihihi
BalasHapusJadinya kita makan sore, Mbak Rachma. Pas sampai di camp. Lumayanlah prasmanan, bisa makan cukup :D
HapusWah seru petualanganny . Salam sesama FLP hehehe
BalasHapusSalam FLP, Mbak Naqiy ^^
Hapusaahh kalo lihat petualangan kaya gituh suka pengen ikooot...
BalasHapusAyoo, Mbak Nchie. Mau ke mana kita? Ke Floating Market, yuk :D
HapusDulu ke Lumajang cuman lenghafiri pernikahan teman, itu juga langsung bertolak pulang. Seru juga kalo mengeksplor suatu wilauah lebggunakan angkutan umum seperti bis, kejadian tiba-tiba mogok kan pasti di luar skenario hihihi :D
BalasHapusDi Lumajang banyak yang bisa dieksplore sebenarnya, Mbak. Masih pengen lagi. Ya, semoga dimudahkan tanpa ada adegan mogok :D
HapusBafu sekali ke Lumajang untuk liputan. Kayaknya tahun 2005. Dlu pas ke sana, sepiii. Entah kenapa ya . Mungkin skarang udah rame ya mba :)
BalasHapusLumajang memang keren, PUBLIC SPEAKING SEMARANG
BalasHapustapi belum pernah kesono