Senin, 31 Juli 2017

Kisah Cinta yang Rumit

Imajinasiku sedang mengembara di sekitar SMA Noceng karangan Asma Nadia. Bacaan yang aku dapatkan ketika menggelar Taman Baca FLP Pamekasan di Arek Lancor. Banyak buku seru yang dibawa ke sana. Jadi ada beberapa yang kubawa pulang. Salah satunya serial Aisyah Putri.

Di sanalah aku berada ketika ponselku berdering. Dari adik kandung beribundakan kontrakan Yasmin.

“Mbak, ngerti shirah sahabat? Yang meminta ditemani untuk melamar, tapi mendapatkan jawaban yang mengejutkan?” pertanyaan yang membuat imajinasiku buyar seketika.

Kisah sahabat yang sangat fenomenal di Yasmin. Cerita yang pernah kubawakan di sela makan malam. Terang saja aku ingat. Itu bikin baper mentemen. Romansa yang aku dapatkan dari buku Jalan Cinta Para Pejuangnya Salim A. Fillah. Sedikit disinggung juga dalam tulisan Bunda Sinta Yudisia, Kitab Cinta dan Patah Hati.

Adik ini belum masuk Yasmin ketika cerita itu aku utarakan di depan mentemen. Nggak tahu. Rupanya dia sedang diberi kuis sama senior Yasmin untuk melengkapkan teki-teki kisah itu.

“Katanya disuruh minta tolong tanya antum. Soalnya kalau cerita baper begini antum paling hafal.”

Haha, berasa love expert gue.

Okay, here we go!
***

Rasulullah mempersaudarakan Muslim Mekkah dengan sahabat di Madinah. Dampaknya sangat terasa. Terutama pada iman dan ikatan ukhuwah mereka. Apalagi para muslimin Mekkah baru saja terasingkan dari kota kelahiran.

Sebut saja ukhuwah antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’. Sahabat kita yang kaya itu tentu saja menjadi tak punyai apa-apa saat hijrah. Alias berada di titik nol. Dan Sa’ad bin Rabi’ adalah sahabat terkaya di Madinah. Atas keimanan yang sangat ia bahkan mempersilahkan Ibnu Auf menikahi istri yang dicintainya. Jika memang beliau menghendaki.

Tapi Abdurrahman bin Auf pun adalah sahabat yang tak mungkin membuat saudara barunya itu sakit hati. Ia hanya meminta ditunjukkan letak pasar. Di sana ia kemudian memulai usahanya kembali. Dari awal.

Salman Al-Farisi, pahlawan kita, ahli taktik perang di perang Khandaq, juga mendapat sahabat yang tak kalah hebatnya di  Madinah. Dengan Abu Darda’, Rasulullah mempersaudarakan ia.

Eratnya persahabatan mereka hingga kaum Anshar Madinah rela melakukan apa saja demi saudara barunya, Muhajirin Mekkah.

Dan Allah-lah sang Maha Cinta yang memberikan rasa. Satu tetesnya menyentuh Salman dan tumbuh di hatinya. Pada seorang gadis Madinah rasa itu tertuju.

Sebagaimana laiknya pemuda jantan tentu saja ia menolak pacaran. Pasti ia hafal betul dengan sabda Nabi yang mengingatkan, bahwa obat mujarab orang yang sedang jatuh cinta adalah menikah.

Ya, pendatang Makkah ini bermaksud menghargai perasaan yang Allah berikan. Demi menghormati perempuan Salman pun memilih menghalalkannya. Ia membulatkan tekad untuk menikahi sang gadis.

Maisyah yang selama ini Salman kumpulkan telah ia persiapkan untuk pujaan hatinya tersebut. Semuanya hampir sempurna. Hanya saja ia belum berani mendatangi rumah gadis itu sendirian. Dan hanya Abu Darda' satu-satunya keluarga yang dimilikinya.

Maka padanya, Salman meminta ditemani. Sebagai sahabat Abu Darda' menyambut gembira niat baik Salman.

Abu Darda' memulai perbincangan serius itu dengan mengenalkan dirinya dan sahabatnya Salman. Kemudian setelahnya, maksud kedatangan mereka berdua juga disampaikan pada sang Ayahanda gadis.

Beliau tahu betul kedudukan mereka berdua sangat mulia di sisi Rasulullah.

“Tak mungkin saya tolak niat baik kalian datang ke sini. Tapi biarkan jawabannya diberikan langsung oleh putri saya,” tutur sang Ayah lembut. Jawaban yang membuat jantung Salman lebih berdegup kencang.

Di balik tabir, sang gadis tak langsung memberikan jawaban. Ada sedikit diskusi di sana. Entahlah, tapi kita pun akan membayangkan bagaimana gugupnya Salman menunggu.

“Kami tidak akan menolak pinangan ini jika yang meminta adalah Abu Darda'."

Ya, kedatangan mereka diterima. Tapi bukankah Salman yang meminta? Bukankah Salman yang menyimpan sekian lama rasa? Rasanya menulis kembali cerita ini aku tak sanggup.

Rantingnya telah patah, mungkin dedaunan yang selama ini tumbuh telah gugur dan kering di tanah.

“Allahu Akbar!” pekik Salman Al-Farisi. Ia lalu mengucapkan tahniah bagi Abu Darda'. Sang sahabat yang telah berbuat banyak, membantunya selama di Madinah.

Rantingnya telah patah, dedaunan yang selama ini tumbuh telah gugur dan kering di tanah. Tidak, itu mungkin kita yang tak sanggup menerima kenyataan. Nyatanya Salman tetap berdiri tegak. Faktanya, semua maisyah yang telah ia persiapkan untuk pernikahan, Salman berikan semua-muanya untuk Abu Darda'. Pun mahar untuk sang pujaan.

Tidak, bahkan bunga tumbuh di sana dalam iman. Dalam rahmat Tuhan. Allah yang menegarkan Salman. Yang membuat kuncup sempurna mekar meski kemarau panjang nan tandus menghampiri rasa.

Kau tahu ini karena apa? Tentu saja berkat iman. Didikan Rasulullah dalam halaqah-halaqah saban hari.

“Mbak tahu siapa nama perempuan yang dilamar Salman?” adikku bertanya antusias di ujung sana.

Sayang dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang tidak disebutkan. In earnest, I’m so curious abouth the girl’s name. Tapi Bunda Sinta nampaknya membocorkanku.

Disebutkan di Kitab Cinta dan Patah Hati bahwa istri Abu Darda' adalah Hujaimah binti Huyay.

“Kau datang meminang pada pada orangtuaku saat di dunia, maka kupintakan engkau pada Allah untuk menjadi istrimu di surga,” janji Hujaimah di detik-detik terakhir sang suami.

“Kalau begitu janganlah engkau menikah lagi sepeninggalku,” pinta Abu Darda' sebelum ia memejamkan mata dan husnul khatimah.

Jadi namanya Hujaimah binti Huyay. Tapi kemudian aku berpikir, benarkah shahabiyah yang ini? Yang menolak pinangan Salman?

Mengingat dalam sebuah referensi lainnya mengatakan Hujaimah adalah istri Abu Darda' yang kedua. Dan Hujaimah adalah anak angkat Abu Darda' saat ia kecil dan remaja. Jika memang iya, pelik sekali ya kisah ini. Setidaknya menurutku.


I don’t know how to say but, kisah Salman boleh membuat hati pembaca berlinangan air mata dan baper. Yet, kita juga harus belajar bagaimana ia tetap bangkit berdiri menatap kehidupan. Bukan malah sedih berkepanjangan dan lalai akan perintah Tuhan.

Rumit memang. Sungguh! Tapi sejarah mengatakan demikian.

Oia, kalau mentemen punya rujukan yang dapat dipercaya tentang nama akhwat yang menolak Salman, boleh ya infonya dimasukkan dalam kolom komentar.

Anyway, aku salut dengan keberanian shahabiyah itu. Pilihannya mantap dan tidak takut. Tidak ragu-ragu. Berani menolak Salman dan berani meminta Abu Darda'. 

Masya Allah, begitu unggulnya Abu Darda' hingga ialah yang terpilih. Bukankah kita memang harus memilih lelaki yang paling baik agamanya? Pun akhlaknya. Abu Darda' mah sudah terjamin yak. Lihat saja beliau berani mengantar dan menemani sahabatnya melamar akhwat.

Terus abis ini, ikhwan-ikhwan sholeh yang tau kisah ini pada nggak mau ditemenin sahabatnya. Takut akhwatnya salah pilih. Haha, kata Mbak Yul gitu. Tapi biar nggak rumit, boleh deh ikutin tipsnya Bang Tere Liye, bawa rombongan sekeluarga. Biar akhwatnya tahu kesungguhan hatimu.

Ups, udah seribu kata aja. Sudah sampai mana tadi? :D

Oh, iya, sepertinya sudah saatnya mengembalikan buku-buku ke Rumah Cahaya FLP Pamekasan. Yuk, cus! Eh masih dua buku lagi yang belum.

Hadeuh.. :p