Selasa, 09 Februari 2016

Kelamnya Mindi yang Tengelam



Semuanya terjadi begitu cepat. Aku keluar dari terminal dan kehujanan. Berjalan cepat-cepat sembari merapatkan jaket. Pada langkah keseratus aku berhenti. Kepulan asap bakso dan perut yang belum diisi adalah padanan yang serasi.

Tepat malam sebelumnya dengan kejadian yang sama. Hujan turun di perempatan kota. Malam itu segala kengiluan bertumpuk. Bus terakhir dengan penumpang penuh sesak membuat kami berdiri. Bergelantungan atau bersandar pada kursi. Begitu seterusnya hingga  tiga jam terlampaui.

Jam berikutnya jemputan datang dan hati kami bersorak riang. Jadilah kami naik berboncengan. Motor melaju terus menerobos hujan. Malam yang indah ketika semua bermula. Suatu desa yang indah di daerah Porong, Sidoarjo.
Sesampainya di rumah teh hangat menyambut dari senyum tulus seorang ibu. Partner-ku yang satu itu tak mau. Nggak doyan 'kali ya. Emang teh kudu doyan? Oke lupakan. Segelas besar teh hangat habis dalam beberapa hitungan. Memang sedang diperlukan untuk menghalau rasa dingin.

Nasi putih yang mengepul terus memanggil-manggil ketika aku hilir mudik melewati meja makan. Teman-temannya kompak bersuitan. Menggoda perut yang kelaparan seharian. Segerombolan sayuran yang terdiri dari daun singkong, tempe, pete, malandingan--orang Pamekasan menyebutnya begitu--dan entahlah aku lupa wajah-wajah teman-teman lainnya. Yang jelas mereka gank yang bernama Botok. Tahu dan telur mata sapi dengan bumbu merah--mungkin balado--turut ikut serta. Tak lupa kerupuk kotak-kotak yang juga meriuhkan suasana. Kotak-kotak? Masaji dong :.grin.: Kriuk, kriuk..
Hidangan yang nikmat, bukan? 

Alhamdulillah. Rejeki anak sholehah. Kemudian sebelum  makan, bersih-bersih diri, lanjut ke alam mimpi. Setelah sebelumnya pergi menggosok gigi.

Esoknya saat pagi menyapa kami berkendara ke luar desa. Bertaffakur, memuji berbagai keindahan yang diciptakan Allah. Melewati Kali Mati dan Makam Kembar kami menemui kebun tebu yang berhektar-hektar.
Selain smartphone untuk fota-foti, aku membawa ikut sertakan sebuah buku. Indonesia Mengajar. Selain buat baca di waktu senggang, seperti di taman atau nunggui tukang roti bisa 'kan dibuat properti.

"Di sini jalannya bagus. Mulus tak berlubang-lubang," pujiku tulus. "Kalau mau lihat kepala desanya korupsi atau tidak lihatlah kondisi jalannya," lanjutku lagi mengutip sebuah perkataan.

"Memang di rumah sampean bolong-bolong jalannya?" pertanyaan yang aku jawab dengan anggukan. Lha wong tiap hari ada truk lewat. Jalanan desa digituin, amblaslah dia.

Tepat setelah kendaraan bertegur sapa dengan tugu perbatasan kami memutuskan untuk rehat sejenak. Gunung berbaris di kejauhan. Berkumpul mengadakan halaqah pagi. Terus berdzikir memuji ilahi.

"Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi." (Shad: 18)

Usai beberapa menit berdiam di sana kami bergerak kembali. Bergerak menuju daerah kecamatan. Melewati perkebunan. Berbagai macam sayuran juga terlihat ditanam di persawahan. Tentang lapas, membuat kami berimajinasi sebuah cerita dengan setting penjara. Bukan aku tepatnya yang terinspirasi pertama kali. Ide-ide konyol berlompatan di kepala kami. Dasar penulis.

Perlahan awan menyibak. Mempersilahkan mentari menunjukkan diri. Cahaya emasnya menyejukkan hati. Cantik dan anggun. Kupotret, cekrek-cekrek!

"Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat." (Fatir: 17)

Empat puluh lima menit melewati angka lima saat kami terus melaju menuju Kota Mati. Dulu Porong begitu hidup. Kini pertokoan di pinggir jalan sudah tutup. Tiba-tiba suasana menjadi abu-abu. Matahari undur sepertinya undur diri. Di atas sana awan kelabu menggantung di langit. Hawanya mengharu biru.

Awalnya aku tak mengerti tapi perjalanan terus berlanjut. Kendaraan kami memasuki desa Mindi. Tak terlalu sepi. Satu-dua orang terlihat melakukan rutinitas harian. Namun maju 50 meter. Kesunyian mulai tercipta.

"Ini yang namanya Kota Mati?" Sang supir mengiyakan pertanyaan penumpangnya. Rumah-rumah tampak ditumbuhi lumut. Masjid penuh debu dan rusuh. Bangunan-bangunan tak berpenghuni.

Rupa-rupanya inilah Desa Mindi yang biasa disebut pula Kota Mati. Penduduknya pindah. Menghindari semburan lapindo yang terus aktif dari perut bumi. Ilalang tumbuh meninggi menutupi sebagian reruntuhan.
Innalillah. Kami hanya manusia, Allah-lah yang Maha Mengatur segalanya. Jika ditelisik ini memang akibat ulah manusia. Tempat bor yang unpredictable dan semburan lumpur yang luar binasa.

Di ketinggian tanggul-tanggul memanjang. Kami mendekatinya. Di gerbang kami diizinkan masuk oleh pak satpam.

"Nanti pulangnya lewat sini lagi, biar tak tersesat. Hati-hati," pesan beliau sopan. Dalam hati aku bertanya-tanya, sepagi ini beliau sudah stand bye.

"Gimana kalo malem ya, Mbak? Pak satpamnya nggak takut sendirian jaga di situ?" pertanyaan retoris dari rekanku. Entahlah setidaknya beliau bertanggungjawab untuk itu.

Motor kami mendaki, mendekati tanggul bertemu langsung dengan sang lumpur. Sang tokoh utama dalam beberapa tahun awal; saat PT. Lapindo mengubahnya menjadi lautan di media. Kini beritanya sudah usang padahal lumpurnya terus memasang.

"Lumpur-lumpur ini masi aktif. Sudah banyak desa yang ditenggelamkan. Penduduknya terpaksa meninggalkan kampung halaman," rekanku menjelaskan bak guide bagi sang pelancong. Tangannya menunjuk-nunjuk. Menjelaskan nama-nama desa yang dulu ada.

"Ini boleh dipegang 'kan,?" tanyaku memberanikan diri. Siap melangkah memasuki area lautan lumpur.

"Boleh saja. Itu lumpur biasa. Hanya saja bercampur dengan aneka bahan kimia," nadanya melarangku. Aku tak benar-benar ingin. Lumpurnya pasti sangat dalam dan aku tak mau terjebak di sana.

Di kejauhan burung bangau terbang rendah. Hanya beberapa detik selanjutnya terbang lagi. Segerombolan burung-burung berwarna coklat kehitaman terbang melintasi langit. Aku bergidik ngeri. Mereka mungkin merasakan kesepian ini.

Menyengat. Begitulah sang lumpur tercium inderaku. Kami memutuskan pulang sebelum kami mati kelaparan. #eh

Masih di Mindi, kami mengunjungi Taman Apkasi. Taman yang dibangun di bekas Pasar Porong. Hiburan yang masih tinggal di daerah itu. Tak semuanya pindah memang. Harga tanah yang terlampau tinggi atau tempat yang tak sesuai dengan harapan. Mungkin membuat mereka tempat tinggal.

Sekolah di sekitarnya ada yang masih berdiri namun sepi. Bahkan makin ke sini terancam tak akan ditinggali lagi. Lumpur terus aktif dan entah kapan berhenti. Semoga saja ada anak pribumi, pertiwi yang dapat meneliti. Agar desa yang tenggelam bisa kembali beroperasi atau minimal lumpur berubah menjadi pundi-pundi.

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (At-Thaghabun: 11)

Kami mampir dulu di Pasar Porong Baru. Menikmati beberapa tangkup roti goreng lalu kemudian pulang ke rumah. Seratus enam puluh kilo meter perjalanan pagi itu. Kami kembali melewati perkebunan tebu, kali mati dan Makam Kembar yang dipenuhi tumbuhan indah bak taman.

"Di sini pernah bajir?" tanya yang datang saat kuperhatikan air hampir meluap dua jengkal saja dari sungai. Pertanyaanku dijawab dengan gelengan kepala. Tak pernah banjir. Mungkin karena airnya dimanfaatkan untuk kebun dan sawah.

Sesampainya di rumah kami segera saja menyantap nasi yang kepulannya membubung tinggi. Berasama aneka sayuran, ikan presto dan tempe goreng. Tak ketinggalan kerupuk kotak-kotak. Kami menghabiskannya ditemani Marsha and the Bear yang berceloteh di kotak ajaib.

Hujan terus menghujam kota. Aku terus menikmati semangkok bakso Cak Yono. Pengganjal favorit sejak esde. Satu raja gendut dan tiga prajuritnya yang setianya. Semuanya kuhabiskan dengan uang delapan ribu. Cukup murah dan mengenyangkan.

Aku tak berjalan cepat-cepat lagi. Sebuah motor jemputan tlah menanti. Dan akupun kembali.

Jazakillah, Dek Ani halan-halannya.



Kawasan Lumpur Lapindo

Mindi yang sunyi
Bakso Cak Yono


2 komentar:

  1. Mba, maksud arti judulnya apa ya, hihihi

    BalasHapus
  2. Mindi, sebuah desa yang kini mati. Menjadi Suram. Dan Tenggelam akibat lumpur Lapindo. Begitu :D

    BalasHapus