Selasa, 13 Februari 2018

Memetik Pucuk Kenangan di Ngawi [Musywil V FLP JATIM #1]

Memetik Pucuk Kenangan di Ngawi
Kenangan akan tetap berwujud sebagaimana mestinya kenangan. Dan ia bagiku akan tetap begitu; berkelindan dalam pikiran hingga purna berubah menjadi tulisan. Seperti hutang yang harus dilunaskan.

Harap maklum, jika kau melihat jariku berkolaborasi dengan kekata yang tumbuh rimbun di kepalaku. Menata kata dengan khusyuknya.

Lalu beginilah aku menceritakan kenangan pada sang waktu. Di sebuah ketika, masa, kala kenangan adalah benih yang baru saja ditanamkan.

Trip Seru bersama FLP Pamekasan
Sesuai kesepakatan, rombongan dari FLP Pamekasan berangkat bakda Ashar. Kami, para anggota bertemu di Terminal Ronggosukowati di dekat UIN Madura. Dengan mobil berwarna silver kami meluncur meninggalkan Kota Gerbang Salam

Tujuan utama kami, Ngawi. Bertemu saudara sesama pejuang pena dari seluruh cabang Forum Lingkar Pena dalam rangka Musyawarah Wilayah V FLP JATIM. Tepatnya tanggal 24-25 Desember 2017 kemarin.

Sudah beberapa minggu yang lalu. Jadi sepertinya tepat jika aku menyebutnya dengan predikat bernama 'kenangan'. Kenangan bersama rekan FLP yang mesti dituliskan.

Sampai di Sampang kami berhenti. Sholat Jamak dan menikmati sunset kemerahan di ufuk. Itu senja yang paling indah kurasa. Sekaligus menyeramkan sebenarnya karna kelamnya malam sigap menelan mentari merah yang sedang sekarat. Hai, mungkin saat itu kau juga sedang menikmatinya. Atau jangan-jangan sama sepertiku mencatatnya sebagai puisi.

Kuawali perjalanan ini dengan puisi. Sepertinya mood-ku sedang baik saat itu. Setiap berpindah kota atau daerah aku menuliskan kenangan dengan diksi.

Dibandingkan jenis tulisan lainnya aku memang lebih menyukai puisi. Seru saja melihat mereka menari. Dalam sajak. Dalam irama berdiksi. Tapi hanya itu saja. Jago kandang.

Di atas tol panjang yang melintang dari daerah Surabaya hingga rombongan Pamekasan bertemu dengan FLP Bangkalan. Beberapa anggota kami bertukar tempat. Biar akhwat-nya bisa bergabung menjadi satu. Dan akupun satu mobil dengan Dek Ani, FLP Bangkalan. Yeay! Alhamdulillah.

Duduk berdua dengan Dek Ani di mobil bagian belakang kami bercengkrama. Bercerita panjang lebar. Laiknya mendaki gunung menyelami lautan, haha. Hingga perjalanan yang melelahkan tak begitu terasa.

"Mbak seru banget ceritanya," Dek Inel menoleh dan bergabung dan sempat bersama kami di belakang.

Seru hingga mengharu biru. Padahal terakhir bertemu Dek Ani awal Oktober 2017. Tapi rasanya selalu kangen, kangen, kangen kalau sama Adek yang satu ini. 

Sejak 2014, kami sering terhimpun dalam satu divisi di berbagai organisasi dan sering ngebolang bareng juga kalau ada acara FLP. Ya gitu deh jadinya.

Hingga ada yang bilang, gaya tulisan kami mirip. Mungkin karena kami sering jalan bareng. Dan dulunya akupun anggota FLP Bangkalan.

Di Terminal Purabaya, rombongan kami semakin besar. Ada FLP Gresik yang bergabung. Asyik makin rame.

Eh, kebalik. Harusnya ketemu FLP Gresik dulu baru Bangkalan. Okay. Abdi asa tos lieur da. Peace!

Perbincangan di Mobil
"Mbak, ada yang minta fotonya Mbak," suara Dek Inel tiba-tiba mengejutkanku. Entah Pak Andika atau Pak Angga yang minta waktu aku lupa waktu itu Inel bilang siapa. Yang penting pengurus JATIM.

"Kemaren ikut berpartisipasi di Pena Award FLP JATIM, Dek?" tanya Mbak Nikmah sambil menoleh ke belakang. Mbak Nikmah dan Inel ini adalah dua anggota FLP Cabang Pamekasan. Aku mengangguk.

"Iya, Mbak ngirim 17 puisi."

Ini agak janggal sebenarnya karena saat pengiriman puisi berikut dengan fotonya, yang sudah kukirimkan waktu itu. Kenapa diminta lagi?

"Kukirim yang ini ya, Mbam?" tanya Dek Inel lagi. Dia menunjukkan fotoku saat kunjungan FLP Pamekasan ke Banyuanyar beberapa saat sebelum keberankatan. Ada spot bagus di situ, rumah vintage yang bikin kita serasa di mana gitu.

"Jangan, Dek." Aku melarangnya. Mungkin panitia-nya sedang khilaf.

"Yaaah, sudah kukirim," katanya sambil tertawa-tawa.

Duh itukan mandzur jiddan kalau aku. Ketok buanget. Oh tidak Ineeeeell.

ZzzzzzZzzzzzZzzzzZzzz.

"Kayaknya Mbak bakalan menang deh sampe dimintain foto." Wajah si Inel mulai keliatan kelabu.

"Enggak ah." Soalnya di FLP penulisnya keren-keren. Mana mungkin aku menang. Lagian aku cuma iseng saja.

"Iya, Dek barakallah yaa," Mbak Nikmah yang duduk di samping Dek Inel menimpali.

"Kayaknya beneran, Mbak. Siap-siap nerima hadiah yaa nanti." Dek Ani juga ikutan berhusnuzan.

Akunya sih benar-benar nggak terlalu berharap soalnya nanti kalau sudah terlanjur di atas awan jatohnya pasti sakit banget. Seperti yang dimelodikan Yovie Nuno, kau terbangkanku ke awan lalu jatuhkan ke dasar jurang.

Byuuuuur. Eh itu sih kalau nyemplung ke laut ya, bukan ke jurang.

"Kok aku nggak dimintain foto yaa," Dek Inel sibuk berpikir, "Wah kayaknya aku bakal kalah deh sama Mbak soalnya aku kan ngirimnya puisi juga.."

"Nggak, Dek. Belum tentu. Bisa saja Dek Inel yang menang," aku mencoba menghibur Inel dan diri. Hmm, sepertinya nggak mungkin. Tapi perihal foto, aku sebenarnya penasaran.

Psikologi Bunda Afra dan Tugas Kita sebagai Manusia

Kami berangkat tanggal 23 sore dan sampai di Ngawi saat mentari menyapa bumi di tanggal 24 Desember. Mendekati lokasi kami disergap macet. Niatnya mau Shubuhan di Masjid Mehrunnisa' Gontor tapi nggak jadi. Di kanan-kiri jalan, semua kendaraan tersendat.

Bisa ditebak. Masjid-pom bensin di sekitar sana pun penuh. Beberapa kali kami memilih melanjutkan perjalanan saat melihat antrinya yang lumayan menyesakkan.

Akhirnya aku memilih sholat di dalam mobil. Tayammum dengan debu atas sandaran kursi. Allahu akbar, sholat sambil duduk. Beberapa rekan yang lain kuajak melakukan hal serupa.

Nah, karena postingan ini menurut sudah agak panjang kita jeda dulu. Tentang materi Bunda Afra hari itu akan kutulis dalam postingan khusus. Kukisahkan kembali #muswilflpjatim pada postingan selanjutnya.

Matahari perlahan menggeliat bangun. Berkas sinar hangatnya menyentuh dedaunan, jalanan hingga mobil kami. Satu momen yang terlewat di sini. Aku tak sempat menangkapnya. Sibuk menata diri, menata hati, menata hari. Macet masih berlanjut. Tapi dalam ingatan aku mencatatnya sebagai kenangan.

Klarifikasi Pena Award FLP JATIM
Jadi bagaimana perihal kelanjutan puisi?

Sebenarnya kalau boleh jujur sejak diumumkan para nominator dari berbagai kategori selain puisi aku sudah dilanda deg-degan yang sangat.

Rasanya detak jantungku mengalahi suara pemandu pengumuman. Saking keras. Tapi aku berusaha untuk senatural mungkin.

Lalu tibalah pada puisi.

"Mbak siap-siap." Dek Ani memegang tanganku. Membuatku tersentak kaget. Sedikit.

Namun hingga para nominator selesai dibacakan, tak sekalipun namaku masuk dalam deretan.

Alhamdulillah nggak usah maju-maju ke depan. Males aja. Malu banget pastinya. Pun waktu FLP Pamekasan dapet FLP Pejuang.

Ajaibnya ternyata foto yang dikirim Inel muncul saat pembacaan nominasi Penulis Fiksi. Lucunya bukan namaku yang tertera di situ.

"Lho itu bukan nama Mbak," spontan Dek Ani di sebelahku berkomentar. Karena kita duduknya dua atau tiga baris dari depan, komentarnya terdengar oleh yang sedang memandu.

"Ah dia mah banyak nama penanya," begitu kira-kira jelas si pemandu.

Itu kocak sekali pemirsah. Tapi aku cuma menahan geli di perut. In fact, ngomong-ngomong soal nama pena, aku memiliki banyak. Puluhan. Sebel deh kalau ketahuan itu gue. Haha.

Dan nama yang tertera di sana adalah nama asli, but that's not me lol.

Aku ingat sekarang, aku memang mengirimkan dua karya melalui email pribadiku yang namanya adalah pena. Namun karya satunya bukan milikku. Melainkan punya adikku. Nama akhir kami sama. Oh jadi itu.

Saudara-saudaraku yang lain, nama akhir nya pada sama. Nama Abi. Lha piye, nek adik-adikku semuanya ngirim karya. Nanti disangka nama penaku sedanten wkwkwk.

Pesan Haru Babe Rafif
Tak usah kuceritakan bagaimana tegangnya LPJan hingga pemilihan yang membuat FLP menjadi dua kubu. Insya Allah blogger FLP JATIM sudah menuliskannya di blog masing-masing.

Oia, sebelumnya orang-orang dengan suara terbanyak untuk kandidat ketua FLP JATIM ada empat seingatku. Satu akhwat, tiga ikhwan. Katanya mereka saat ditanya kesediaannya.

Mbak Zie menolak karena masih banyak ikhwannya. Satunya berkata ada dua yang menjadi pertimbangan; berkeluarga atau tidak dan masalah berat badan; gemuk atau kurus.

Akhirnya Pak Angga dan Babe Rafif yang maju.

Pak Angga: "FLP terlalu menawan. Saya tidak bisa untuk tidak bersedia."

Kalau Babe jawabannya lebih mengharukan. Da Babe jagonya.

"Sebelumnya saya sudah ijin pada istri saya. Katanya, beliau akan selalu mendukung. Namun dengan banyaknya amanah ini tolong jaga keluarga ini..."

*to be continue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar