Selasa, 05 April 2016

FLP goes to Jogja!

Setelah acara di tingkat wilayah, selanjutnya FLP goes to Jogja dalam rangka Milad ke-19. Lumayan telat ini reportasenya. Maaf ya. Tapi, rasa bersalah itu akan terus menghantui penulis jika tak segera dipublish. So here, reportase dan rangkuman materi dari seminar nasional dalam rangka Milad 19 FLP.

Seminar Nasional FLP di Jogja
Seminar ini terselenggara Sabtu, 27 Februari 2016 kemarin. Wah sudah lebih sebulan ternyata :grin: Kami dari FLP Bangkalan berangkat berdua saja. Lumayan menggunakan tiket gratis dari FLP pusat. Tamu kehormatan alhamdulillah dapat fasilitas VIP; duduk paling depan dan jatah makan siang. Mantap! Jadi dapat menangkap materi dengan jelas.

Ada kejadian lucu sebelum masuk ruangan. Aku dan Dek Ani ikutan antri di bagian registrasi. Antriannya mengular. Panitia kemudian membagi antrian sesuai huruf abjad. Dek Ani, yang nama depannya dimulia dengan huruf A di bagian kanan. Aku yang 'S' di antrian sebelahnya. Kemudian tiba giliran kami mengisi form. Setelah dicari ternyata nama kami tak ditemukan. Ternyata oh ternyata, nama kami terderet dalam daftar tamu undangan. Ups!


Dimulaih acara. Dua orang MC maju ke depan peserta. Namanya, umm I did’nt catch it. Aku kurang perhatian ternyata. Nadia Taftazani, ketupel acara kemudian memberi sambutan setelah MC menyilahkannya. Kalimat yang saya catat di buku saat Mbak Nadia maju, “Jika kau tak tertulis dalam sejarah maka menulislah!” Ya, tentu saja itu kalimat yang membuat semangat kembali berkobar.

Kemudian Bunda Shinta maju, beliau memberikan kami berita gembira. Ada tamu spesial dari Jombor Baru Malaysia. Anggota FLP juga. Shugoi yo! Materi pertama dari Bunda Shinta Yudisia sebagai keynote speaker. Bunda menyampawikan banyak hal terkait sastra. Katanya, menulislah hanya untuk kebaikan. Jadikan penamu bak tongkat Musa yang kehadirannya dapat membelah lautan dan menyelamatkan orang-orang. Seperti Sayd Qutb bilang, satu peluru hanya menembus satu kepala, namu pena bisa menembus ribuan hingga jutaan pembaca.
Sastra Santun di Era digital. Itu tema seminar nasionalnya. Dalam pidatonya Bunda Shinta mengutip perkataan David Karnoff, kita tidak bisa mengkambinghitamkan teknologi. Ya, sadar-tidak sadar kita banyak ditolong oleh teknologi. Bagaimana tidak, jika dulunya memanggil saudara yang sedang di sawah biasa menggunakan loudspeaker desa sekarang tinggal calling saja. Dulu, berjam-jam di warnet sekarang bisa pakai paketan data smartphone. Mudah.

Setidaknya teknologi dapat membantu banyak. Terutama bagi kita; penulis. Penulis yang selalu menyebarkan kebaikan. “Janganlah kau jadi pribadi yang datangmu tak menggenapkan, pergimu tak mengganjilkan,” kata Hamka. Penulis yang sama sekali tak diharapkan tulisannya. Apalagi jika tulisannya memberi pengaruh yang ‘mengesankan.’

Sebagai penulis tentunya kita harus memiliki arah. Tujuan yang pasti. Juga menjauhi adat-adat yang buruk. Menulis dengan cara santun dan terhormat, begitu Bunda Shinta menyampaikan. Teruslah menulis untuk kebaikan. Biarkan honor dari Allah datang. Tak peduli media menolak ratusan.

Bunda Shinta mengisahkan bagaimana cerita bagusnya yang dimuat media, kemudian honor tak datang meski itu adalah hak penulisnya. Kabar bagus datang kemudian. Sang penulis dihubungi orang Korea terkait karangannya dan mendapatkan penghargaan yang lebih pantas.


Keroncong pelipur lara formasi lengkap
Sebelum seminar benar-benar dimulai Keroncong Pelipur Lara menyenandungkan lagu-lagunya. Menghibur kita sebelum pemateri tiba. Bengawan Solo, lagu pertama yang dibawakan. Aransemennya indah. Berbagai alat musik mereka mainkan. Aku kagum dengan pemain biolanya. Jadi ingat Teh Lia yang suka banget biola.


Pemain biolanya yang sebelah kanan
Lagu kedua yang dibawakan Selamat Ulang Tahun-nya Jamrud.


Hari ini, hari yang kautungguBertambah satu tahun, usiamu,Bahagialah selalu

Yang kuberi, bukan jam dan cincinBukan seikat bunga, atau puisi,Juga kalung hati

Maaf, bukannya pelit,Atau nggak mau bermodal dikitYang ingin aku, beri padamuDo'a setulus hati ...

Reff:Smoga Tuhan, melindungi kamuSerta tercapai semua angan dan cita citamuMudah mudahan diberi umur panjangSehat selama-lanya

Jilbab Traveller menyambut Bunda Asma Nadia
Lagu terakhir pas sekali dengan kedatangan Bunda Asma Nadia; Jilbab Traveller. Bunda malah tak langsung duduk di kursi kehormatan. Dari awal lagu beliau merekam aksi Keroncong Pelipur Lara dalam video. Keren deh mereka. Karena semua pemateri telah lengkap maka dimulailah acara.

Bunda Kun


Moderatornya sangat interaktif lho. Dosen jurusan kimia. Dosen UNY. Bu Kun namanya. I learnt a lot from her. Dosen kimia yang mencintai sastra. Keren ‘kan? Jarang-jarang lho. Terus semuanya diibaratkan dengan hal-hal yang berbau kimia sama moderator ini. Sayangnya aku lupa namanya. i really thank for your, knowledge you gave me. Moderatornya keren.

Tersesat dalam jalan yang indah, kata beliau mengisahkan. Awal beliau bersama sastra. Senang dalam kegembiraan. That’s why beliau masih setia bersama sastra. Santun dalam kata, halus dalam makna.

Empat Materi dari Empat Narasumber

Semua pemateri dan moderator seminar nasional
Narasumber pertama Evi Idawati.Latar belakangnya seni. Sepertinya beliau pecinta teater. I guess. Jika kau mencintai puisi, so when you see how she act in the stage you will got poems flow naturally  there. Pilihan katanya selalu  membuat darah berdesir cepat. Merinding. Suka deh sama aksi panggungnya. Aku tak dapat mencatat semuanya. Tapi ini kata-kata yang berhasil aku tulis dalam buku kecil. 

Evi Idawati
Menjadi artis adalah mimpi orang-orang yang ingin populer. Namun popularitas hanyalah sementara. Allah-lah yang kekal. Tuhan Allah, adalah puncak segala tujuan. Maka dengannya akan dimiliki kehendak dari kekuasaan Tuhan.

Raihlah kemuliaan! Kemuliaan adalah kebersamaan dengan Tuhan, kata Ibnu Arobi

Menghapus kejahatan. Menggempur arus pornografi. 

Kebaikan akan menjadi cahaya yang abadi dalam diri kita.

Di detik-detik terakhir, beloau menyampaikan harapannya pada FLP. Semakin bercahaya, menjadi lentera di mana saja. Shugoi, desu yo ne?

Kang Irfan dan Teorinya
Selanjutnya Kang Irfan, begitu beliau ingin dipanggil. Soalnya beliau dari Sunda dan narasumber yang satu lagi juga namanya Irfan. Jadi biar beda. Satunya Kang Irfan, dan satunya Mas Irfan. Irfan yang ini namanya lengkapnya Irfan Hidayatullah. Dosen UNPAD Bandung

Irfan Hidayatullah
Karena beliau adalah dosen, mari kita berteori sejenak. Menurut beliau, sebenarnya teknologi tak beri pengaruh terhadap wacana. Namun dalam puisi bentuk akan mengubah makna. Kita tahu kan, ada puisi yang kata-katanya ditulis sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai bunga, hati danlain sebagainya. Nah, pasti berbeda rasanya jika membaca puisi di layar sekian inch dengan puisi yang dicetak dalam bentuk buku. That’s why. Meski begitu secara umum yang berubah hanya alatnya saja. Intuisinya sama.

Setelah dua narasumber tadi memberikan limpahan ilmu, moderator berkomentar, “Mbak Evi yang dramatis dan Kang Irfan yang teoritis.” Sastra seperti hukum kekelan massa karena sastra sudah diciptakan sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman Adam. Hanya casing-nya saja yang berubah. Anak cucu yang berupa pena, buku, dan gagdet.

Mas Irfan, pemateri ketiga
Jika sebelumnya Kang Irfan pembicara berikutnya Mas Adam. Beliau mengangkat tema, Media Sosial sebagai Personal Branding. Ya, saking dahsyatnya sosial media. Zaman sekarang medianya beragam. What’sApp, Telegram sampai Facebook yang masih bertahan meski diterjang gelombang. Dengan media-media tersebut kita bisa menggairahkan minat membaca masyarakat Indonesia.

Irfan Adam
Tahu kan, minat baca orang Indonesia. Dari beribu orang, hanya satu saja yang suka membaca. 0,01 hasil dari penelitian organisasi PBB. Padahal tradisi literasi harus diwariskan dari generasi ke generasi. Seperti membaca, menulis, berdiskusi hingga publikasi. Nah, media sosial salah satu alatnya.

Kabar baiknya Jogja menjadi kota tertinggi minat bacanya dibanding kota lainnya. Miris, mengingat di sekitar kampusku tak ada satupun toko buku. Bagaimana mau bersaing dengan Jogja T.T Bangkitlah..

Kabar gembira lainnya ada aplikasi yang mendukung para pecinta buku. Moco namanya. aplikasi bikinan anak Jogja. Keren deh! Di aplikasi ini ada hak ciptanya. Jadi karyamu tak akan bisa di-copy paste. Tentang pembicara ini, Bunda Kun sebagai moderator menyebutnya sebagai penyimpan energi. Apa ya, istilah kimianya. Aku lupa.

And here we are! Pembicara yang ditunggu. Asma Nadia dengan balutan kerudung pink. Cantik. Trailer Pesantren Impian diputar terlebih dahulu. Lampu-lampu dimatikan dan kesan horor-menegangkan kemudian datang. 

Bunda Asma Nadia
Kenapa film horor? Film-film pendahulu Asma Nadia kebanyakan bertemakan cinta-remaja dan rumah tangga. Katakanlah Assalamu’alaikum Beijing, Aisyah Putri dan Surga yang Tak Dirindukan. “Film horor adalah puncak amarah saya,” ungkap Bunda Asma. Ya, nggak sih?

Lihat saja film-film horor Indonesia yang nggak genah semua. Mana ada yang benar. Dari mulai yang ngesot sampai datang bulan. Aneh semua! Pornografi? Ugh, itu tuh pasti ada. Makanya Bunda Asma ingin melawan yang satu itu. apalagi sebagai anak FLP. Karena tidak mustahil setelah mereka nonton, mereka akan membaca bukunya juga. Kudunya kita dukung film-film religi. Tak harus film Asma Nadia, film-film yang lain juga bagus. Bulan Terbelah di Langit Eropa adaptasi dari novel Mbak Hanum misalnya.

Asma Nadia

Film religi menurut beliau adalah program dakwah. Siapa tahu kita dapat menghijrahkan produser-produser yang nggak genah itu. Bagaimana caranya? Nonton di hari pertama karena hari itu menentukan lanjut tidaknya sebuah layar. Tak bisa nonton, sedekah twit! Jangan pelit! Setidaknya kita bisa mempromosikan film-film bermutu bagi masyarakat. Film yang menampilkan nilai-nilai islami. Ibarat restoran padang, yang baik-baik kasi tahu orang-orang, yang buruk kasi tahu produsernya.

Dan juga sebagai penulis, pastikan yang baik-baik saja yang kita tulis. Tulisan yang meninggalkan pesan di dalamnya. Pesan yang membuat kita abadi dalam karya.

“Kalau menurut saya, Asma Nadia ini adalah katalisator. Reaksi yang menimbulkan reaksi berikutnya,” respon moderator setelah Bunda Asma menyelesaikan materinya. 

Beberapa Pesan
Pemateri dalam sesi tanya-jawab
Pesan ini yang saya catat ketika sesi seminar akan berakhir. Tepatnya saat sesi tanya-jawab antar pemateri dan peserta. 

Kita mulai dari Bunda Asma yang berbicara tentang kepenulisan.

Mengapa menulis? Banyak orang ingin-mau menjadi penulis, mengapa kau juga? Matahari terbit di timu dan tenggelam di barat. Mengapa kau ingin menjadi penulis? Cari! Tumbuhkan alasan yang kuat yang kalau kau tak menulis hari-harimu hampa. Tiada artinya. Kalau saya, karena saya tahu umur saya terbatas. Satu buku sebelum mati, BISA!

Sebelum menulis, berwudhu-lah terlebih dahulu. Mudah-mudahan tulisanmu bisa menjadi ibadah. Terkait film, religi bisa kok di semua genre. Dan Pesantren Impian, mengapa pesantren? Pesantren itu rumah kebaikan. Budget, mau kecil mau besar dakwah adalah tentang kesempatan.

Kang Irfan kemudian menjawab tentang anak yang suka membaca. Keponya anak harus diarahkan. Sebagai Ayah juga harus lebih banyak belajar. Jangan salah, Ayah juga harus disekolahin. Apalagi ketika anak sudah sanggup memilih. Hantu pertama adalah idealisme yaitu peluang yang seringkali dibatasi orang tua. Itulah tugas orang tua, bagaimana mendapatkan ikan dengan meninggalkan kolam yang tetap jernih.

Di sini Mbak Evi menambahkan. Sebagai orang tua, harusnya kita menjadi karib yang bersama-sama dalam kebaikan. Beliau seringkali membeli reward terhadap anak-anaknya ketika selesai membaca buku.

Pentas Teater Pena dari FLP Jogja
Penyerahan kenang-kenangan
Sesi tanya-jawab pun berakhir, selanjutnya penyerahan kenang-kenangan kepada pihak sponsor.

Salah satu adegan teater
Setelahnya, kita dikejutkan lagi dengan matinya lampu-lampu. Ternyata Teater Pena, dari FLP Jogja menampilkan sebuah kejutan. Show yang apik. Mereka menyajikan kisah keluarga. Ayah yang pemalas. Anak yang kerjanya minta uang saja. Aku lupa detailnya, namun yang aku ingat mereka keren!

Pemotongan tumpeng oleh Bunda Shinta
Pentas selesai saatnya pemotongan tumpeng! Dipotong langsung oleh Bunda Shinta. Tumpeng kuning beserta lauk-pauknya, mau?

Kopdar di Stand Up Comedy!

Boim Lebon dan MC
Acaranya mau bubar nih. Tapi untung ada Boim Lebon. Beliau maju ke depan menghibur kita. Tahu kan yang bikin LUPUS sama Hilman. Di depa, beliau berkolaborasi dengan MC cowok yang ternyata nggak kalah gokil.

“Saya tahu mereka sering latian di pantai?”
“Kok tahu?”
“Soalnya mukanya pada item-item :D”
Haniah dan Boim Lebon
Selain banyolannya Boim Lebon, tenyata aku bertemu anak Solo yang sudah sekian tahun temenan di Efbi. Namanya Haniah Dia yang dapet buku barunya Boim Lebon. Tahu gitu, kan ngobrol ngalor-ngidul. Tahunya pas dia aplod di Efbi. Aku sebelumya nggak begitu ngeh juga. In another time, maybe ya..

Kesan; Kerennya Panitia dan Acara yang Apik
Selesai acara ditutup dan sebelum acara seminar dimulai, panggung menyajikan musik keroncong. Dan sebelum itu, aku terpesona dengan kerja Sie. Perlengkapan I guess. Bagaimana orang-orang dengan dresscode sama medatangkan kursi-kursi ke atas panggung.

Ini juga terjadi ketika teater akan dipentaskan. Bukan teater sepertinya. Musikalisasi puisi lebih tepatnya. Mereka dengan kompak membereskan kursi-meja narasumber dari atas panggung. Kerjanya rapi! I’m proud of you guess. FYI, aku nggak pernah jadi Sie. Acara seumur-umur. Nggak ada yang nanya >_<

PDD-nya juga oke! Cie, yang langganan jadi PDD. Mereka bikin batas untuk moto. Iyalah, ini kan acara nasional. Trus sekarang zamannya gadget dan Instagram, pasti deh hobi fota-foti. Indeed, FLP yang notabene suka nulis, pastinya pada punya blog yang bakal nulis pengalamannya. Dan tentu ditambah foto tentunya. Kayak gue ya? :D

Di lantai bawah, satu tingkat di bawah ruang seminar ada background kece yang bisa dibikin foto-foto. Lucu-lucu. Ada tulisan top be-ge-te juga. Topeng-topeng Pesantren Impian Bunda Asma juga ada. rame dah. Jadi inspirasi kalo ada acara-acara.
Became a Winner!
Hadiah Lomba Livetweet FLP

Daan yang palin paling berkesan, aku jadi juara! Yeay! Alhamdulillah. Juara apakah itu? Jadi pas acara itu ada loba livetweet. Dan satu di antara tiga-nya itu aku. Hontoni yokatta. Pemenang lainnya ternyata teman sebelahku, dari FLP Jawa Barat. Nggak nyangka. Yang satunya cowok. Nggak kenal :D
 
Good bye Jogja! Abis acara itu, kita sholat-makan siang dan pulang. Kapan-kapan semoga ngumpul lagi sama teman-teman FLP se-dunia. Aamiin..

2 komentar:

  1. biar telat yang penting lengkap, hehehe

    saya gak datang ke yogja kemarin, hiiks

    BalasHapus
  2. Hutang rasanya jika tak di-posting :D

    Ayo, kapan-kapan harus kopda, Mbak ;)

    BalasHapus