Kamis, 18 Agustus 2016

A Journey to Lumajang [Writing Camp Expedition I]

How We got There
Sejak ba’da Shubuh, di bawah gerimis yang jatuh di pulau Garam, tujuh orang bidadari berlarian kecil berlindung dari hujan yang jatuh ke bumi. Berkumpul di halte, menunggu kendaraan yang sudi mengangkut diri yang sedikit menggigil. Tepat tiga puluh menit dari angka lima, kami pun berangkat. Menuju Suramadu, penghubung dua pulau; Jawa dan Madura. Tepatnya Kabupaten Bangkalan dan Kota Surabaya sana. Konon menurut ibu ketua, rute ini jalan tercepat agar kami tak datang terlambat.

Masih Menunggu
Namun nyatanya tak sesuai perkiraan. Menunggu dan terus menunggu. Bis besar yang biasanya lewat tak kunjung memunculkan badan bongsornya. Jam setengah delapan, barulah kemudian kami memutuskan menaiki mobil yang sedari tadi menawarkan diri menjadi alternatif kami. Maka dengan tiga penumpang tambahan berangkatlah mobil membelah lautan.

With Love
Gerimis masih melawat bumi saat kami sampai di Kota Pahlawan. Langit masih muram, congkak dengan kelabu yang ia tawarkan. Kami bertujuh anggota FLP Bangkalan bergegas mencari bis tujuan. Bis tua yang akhirnya memilih kami. Mesinnya tampak sangar dengan suaranya menderum geram. Bisa ditebak, bis yang kami tumpangi mogok di Pasuruan. Dan itu semakin menambah keterlambatan kami. Bis hijau nan elegan, ke sanalah selanjutnya kami berpindah tempat. Menyisakan bis tua mengigil di jalanan.

Terilhami Pasuruan
Daripada tergugu kala menunggu, kuperhatikan jalan saat memasuki kota Pasuruan. Persemedian ini dimulai ketika bus tua merengek. Bermula dari sebuah reklame yang terpasang di pinggir jalan. Sebuah ajakan Diskominfo Pasuruan. Intinya mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pengamen, pengemis dan pengelap kaca mobil. Melihat itu segera saja aku menggerakkan jemari; mencatatnya. Aku terinspirasi sesuatu.

Berganti bus elegan berwarna hijau pun lamunan terus berlanjut. Renungan berganti ketika banyak pekerja sedang berusaha mendestruksi dan membangun trotoar. Pemandangan itu berlangsung lama. Inspirasi kemudian muncul kembali. Ditambah melihat pedagang minuman yang terjepit.

Kotak Kehidupan
Seorang yang tampak sebagai adik-kakak terlihat saling berpelukan. Beragam minuman bubuk dalam sachet bersembunyi di belakangnya lengkap dengan alat penghancurnya; blender. Sementara itu para pekerja sedang menhancurkan material trotoar lama di kanan-kiri mereka berdua.

Kalau kita telaah kembali, sebenarnya fungsi trotoar adalah side walk. Tempat untuk para pejalan, mirisnya fasilitas ini banyak diambil alih pedagang kaki lima. Sudah ribuan barangkali Satpol PP mengusirnya namun tak banyak pedagang terinspirasi untuk taubat.

That’s why Fathia Izzati, seorang vlogger yang bercerita pada dunia bahwa kebanyakan orang Indonesia lebih banyak bepergian menggunakan motor. Selain karena menghindari kemacetan, khususnya di Ibu Kota adalah karena fasilitas side walk yang tidak memadai. Atau karena diambil alih? Whoaa, jadi ingin teriak rasanya.

Tradisi Oral dan Minak Koncar
Sekitar jam satu siang bis hijau pak kondektur mengatakan akan tiba di Terminal Wonorejo. Namun berdasarkan arahan dari panitia, seharusnya kami berhenti di Terminal Minak Koncar. Awalnya sempat bingung juga tapi ternyata hanya perbedaan istilah saja. Seperti Bu Hanifah paparkan di kelas LRM, bahwa kebanyakan orang Indonesia masih menganut tradisi oral.  Lebih terkenal apa yang dikatakan orang-orang daripada yang tertulis di papan.

Negeri Awan
Misal di bandara, sudah jelas tertulis tujuan ini, itu ke mana namun masih saja bertanya pada orang di sekitarnya. Ya samalah, dengan kasus terminal tersebut. Tertulisnya Minak Koncar tapi orang lebih mengenalnya Wonorejo. Di Pamekasan juga ada, tertulis nama pasar Tujuh Belas Agustus, namun orang lebih mengenalnya dengan Pasar Bara’. Atau sekolah di dekat rumah terkenal dengan SMEA, padahal tertulis SMKN I. Mungkin karena dulunya bernama begitu.

Sesampai di terminal hal pertama yang kami lakukan adalah mencari masjid karena panitia menyediakan angkutan untuk para peserta di sana. Masjid dalam keadaan terkunci. Aneh juga ya, padahal itu adalah fasilitas umum. Karena tak bisa masuk, kami memilih duduk di pinggiran trotoal sambil melepas penat dan mulai menghubungi panitia. Selang beberapa menit ada anggota FLP lain yang mendekat. Mbak Fitri dari FLP Lamongan dan Mbak Nur Gresik.

“Sudah sholat?” Mbak Nur yang bertanya diiringi gelengan kepala rombongan. Ternyata ada jalan rahasia menuju masjid, masuk ke sebuah area parkiran. Karena mobil jemputan belum kunjung tiba, kami memanfaatkan waktu dengan menjamak sholat terlebih dahulu.

Mobil Jemputan dalam Imajinasi
Setelahnya kami ngobrol ngalor ngidul dengan para anggota sembari menunggu. Mobil jemputan yang disediakan panitia untuk mengangkuti kita. Karena hari waktu beranjak sore, sedangkan jam makan siang akan segera lewat. Maka topik yang terpilih adalah gerobak bakso di seberang jalan. Mulai deh sikut-sikutan siapa yang akan menjamin semua anggota dengan traktiran.

Jangan ditanya deh mahasiswa yang sedang galau akan isi dompet yang beberapa hari lagi ludes akibat perjalanan panjang. Maka hingga akhir, tak ada yang bancaan. Selanjutnya semoga ada rezeki dari Allah mentraktir kalian. Perbekalan sedang pas juga soalnya. Belum lagi kelar Writing Camp langsung cuz bayar daftar ulang kuliah. Jadi doakan saja semoga selanjutnya aku bisa.

Di chit-chat grup FLP Jatim sempat disinggung perihal mobil jemputan. Dalam sebuah candaan ada yang mengatakan rombongan akan dijemput menggunakan truk. Jadilah beberapa delegasi sibuk memperhatikan truk yang lalu-lalang.

“Truk yang mana, Mbak?” tanya seorang anggota. “Truk yang bercat merah muda,” mendengar penjelasanku mereka mangut-mangut, ”dengan bumper senada warna lautan Indonesia; tosca,” yang mendengarkan alisnya mulai mengerut.”Jangan lupa si pengemudi katanya mengenakan kaos merah menyala,” sontak deh tertawa.  Ketahuan bohongnya.

Jelas itu hanya imajinasi. Dasa pencinta fiksi ya. Eh, tapi ada sopir berkaos merah kemudian mendekat. Menanyai kami. Itu dia pengemudinya! Wah, imajinasi menjadi nyata nih.Tapi bukanlah, itu cuma sopir angkot yang menawarkan diri. Aslinya panitia yang menjemput menggunakan kaos biru-hijau. Seragam seluruh panitia Writing Camp 2016.

Ia datang dua jam kemudian. Hikmah menunggu, kami jadi memilki waktu buat jama’ sholat dan saling berkenalan satu sama lain, hingga berimajinasi sampai ke negeri berawan. Mobil pun melaju, menaiki bebukitan. Menanjak dan terus maju hingga hawa dingin merasuk. Mengetuk pintu dan membisiki sesuatu, “welcome to Writing Camp!”

Hello There
Yosh! Kami pun bersorak kegirangan menyaksikan bunga-bunga di kanan-kiri jalan. Aloha Gucialit, Lumajang! Sesampainya di penginapan, kami disambut para panitia berseragam biru dan menuntun kami ke jalan rahasia. Dari aula menuju ke kamar peserta.

Rentetan Recehan
Ada uang dapat berjalan-jalanlah kita. Meski tak selalu begitu karena kita memiliki kaki pemberian Tuhan yang dapat dipakai bersama sandal atau sepatu. Kita juga dianugerahi Allah kemampuan yang sangat luar biasa, yang dengannya kita secara ajaib mengeluarkan pundi-pundi. Alhamdulillah, perjalanan kali ini terbantu dengan lolosnya dua tulisan di blog. Nikmat mana lagi yang akan kau dustakan?

Pun begitu mari kita rincikan. Seluruh pengeluaran saat di perjalanan. Utamanya ongkos yang membawa kita dari dan menuju Lumajang. Dari Telang kami menaiki angkot yang dikenakan Rp. 6. 000,00- ke arah Tangkel, daerah menuju Suramadu. Dari sana kami menaiki mobil carry dengan biaya Rp. 25.000 hingga Terminal Purabaya (Bungur) Surabaya. Bis Ak*s kena Rp. 35.000, bis yang kemudian ngadat di Pasuruan. Menuju lokasi kami dijemput.

Pulangnya, setelah diantar ke Terminal Minak Koncar oleh panitia, kami menaiki bis yang lupa kuingat apa warnanya. Dengannya kami ditagih Rp. 23.000 saja. Berbeda jauh ya. Bis ini mengantarkan kami bertujuh hingga Terminal Purabaya. Dari sana kami lanjut menumpangi bus Damri yang kemudian kena Rp. 6000, bis mengangkut rombongan sampai ke Pelabuhan Perak.

Tetibanya di sana, kami langsung berlarian mengejar kapal karena waktu menunjukkan jam sebilan lewat. Jam segitu, itu giliran kapal terakhir yang berangkat. Kalau tidak cepat bisa terlambat dan baru dapat keesokan harinya jam setengah tujuan. Karcis seharga, Rp. 5000 tapi biasanya kalo menujukkan kartu mahasiswa bisa korting seribu.

Sampai di seberang alhamdulillah rombongan tiba dengan selamat di Pelabuhan Kamal. Kembali naik angkot menuju Telang dengan Rp. 5000. Dengan itu maka berakhirlah perjalanan hari itu. Stay tune, ya. Postingan selanjutnya aku akan bercerita tentang dua hari di Lumajang. Lengkap dengan rangkuman seluruh materi. Ja, ne!

16 komentar:

  1. Lumajang Jawa timur ya mbak...
    Beh... lumayan deket lah sama tempat tinggalku itu mbak. wkwkwkwk

    Suka banget sama gaya tulisanya mba hafidzah

    BalasHapus
  2. Baru tau ternyata Mbak Hafidzah anggota FLP Jatim to?

    keluargahamsa(dot)com

    BalasHapus
  3. Pengen tahu kelanjutan ceritanya selama di Lumajang..

    BalasHapus
  4. Trus jadinya ga jadi makan siang? baksonya gimana nasibnya? #gagal fokus...hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadinya kita makan sore, Mbak Rachma. Pas sampai di camp. Lumayanlah prasmanan, bisa makan cukup :D

      Hapus
  5. Wah seru petualanganny . Salam sesama FLP hehehe

    BalasHapus
  6. aahh kalo lihat petualangan kaya gituh suka pengen ikooot...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayoo, Mbak Nchie. Mau ke mana kita? Ke Floating Market, yuk :D

      Hapus
  7. Dulu ke Lumajang cuman lenghafiri pernikahan teman, itu juga langsung bertolak pulang. Seru juga kalo mengeksplor suatu wilauah lebggunakan angkutan umum seperti bis, kejadian tiba-tiba mogok kan pasti di luar skenario hihihi :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Lumajang banyak yang bisa dieksplore sebenarnya, Mbak. Masih pengen lagi. Ya, semoga dimudahkan tanpa ada adegan mogok :D

      Hapus
  8. Bafu sekali ke Lumajang untuk liputan. Kayaknya tahun 2005. Dlu pas ke sana, sepiii. Entah kenapa ya . Mungkin skarang udah rame ya mba :)

    BalasHapus